Penulis
Intisari-Online.com - China berambisi membangun jalur sutera modern atau yang dikenal dengan Belt and Road Initiatives.
Untuk mewujudkannya, China kemudian memberi utang kepada negara-negara berkembang.
Ketika negara tersebut tidak mampu membayar utang tersebut, China pun akhirnya menjadi penguasa di proyek yang tengah dibangun negara tersebut.
Isu jebakan utang China pun merebak. Meski demikian banyak negara tetap berutangpada China karena membutuhkan suntikan modal yang tak sedikit dan China-lah yang mampu menyediakannya.
Indonesia termasuk di antara negara yang berutang pada China.
Bahkan, Indonesia tercatat memiliki utang tersembunyidengan China sebesar 17,28 miliar dollar AS atau setara denganRp 245,3 triliun (kurs Rp 14.200/dollar AS).
Laporan mengenai utang tersembunyi tersebut disampaikan oleh AidData, sebuah lembaga riset internasional lewat laporan "Banking on the Belt and Road: Insight from a new global dataset of 13.427 Chinese Development Projects."
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menjelaskan, utang tersembunyi (hidden debt) yang tercantum dalam AidData bukan berarti pemerintah tidak melaporkan utang alias sembunyi-sembunyi berutang.
Hidden debt adalah utang nonpemerintah. Tapi jika terjadi wanprestasi, maka berisiko kepada pemerintah.
Dalam akun Twitternya, @prastow, Jumat (15/10/2021),Yustinus mengatakan,"Saya klarifikasi sejak awal. Hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi."
Dia menjelaskan, utang tersebut dihasilkan melalui skema Business to Business (B-to-B) yang dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle (SPV) maupun perusahaan patungan dan swasta.
Karena utang B-to-B, utang ini tidak tercatat sebagai utang pemerintah.
Sehingga, kataYustinus,utang ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan usaha yang meminjam.
"Ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Meski demikian, tata kelola kita kredibel dan akuntabel soal ini," ungkapnya.
Yustinus mengungkapkan, penarikan utang luar negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah maupun badan usaha selalu tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI), di mana data tersebutdapat diakses oleh publik.
Data SULNI per akhir Juli 2021 mencatat total ULN Indonesia dari China sebesar 21,12 miliar dollar AS.
Utang tersebut terdiri dari utang yang dikelola Pemerintah sebesar 1,66 miliar dollar AS atau 0,8 persen dari total ULN Pemerintah, serta utang BUMN dan swasta dengan total mencapai 19,46 miliar dollar AS.
Yustinus mengatakan,SULNIdisusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan sehingga clear dan transparan.
Yustinus berkata,"Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yang disembunyikan atau sembunyi-sembunyi."
Lebih lanjut Yustinus menyatakan, utang BUMN yang dijamin pemerintah dianggap sebagai kewajiban kontinjensi Pemerintah.
Namun perlu diingat, kewajiban kontinjensi tidak akan menjadi beban yang harus dibayarkan pemerintah, sepanjang mitigasi risiko default dijalankan.
Lagipula, kewajiban kontinjensi memiliki batasan maksimal. Batas maksimal pemberian penjaminan baru terhadap proyek infrastruktur yang diusulkan memperoleh jaminan pada 2020 - 2024 sebesar 6 persen terhadap PDB 2024.
"Tentu saja Pemerintah mengapresiasi siapa pun yang punya concern pada tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk utang. Mohon terus didukung dan dikritisi. Banyak pelajaran dari negara lain bisa dipetik, kita tingkatkan kewaspadaan dan tetap optimis," pungkasnya.