Penulis
Intisari-Online.com -Beberapa minggu terakhir telah menunjukkan keberpihakan antara negara-negara Asia Tenggara karena kesepakatan kapal selam kontroversial antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AUKUS).
Sebagian besar negara-negara ASEAN, terkecuali Filipina yang merupakan sekutu AS, mempertahankan diri untuk diam sebagai langkah politiknya.
Sedangkan Indonesia dan Malaysia secara terbuka mengkritik kesepakatan itu sebagai perkembangan yang bisa merusak kestabilan wilayah di tengah persaingan Sino-Amerika.
Namun menolak AUKUS bukan berarti menerima langkah China.
Mengutip Asia Times, untuk kedua kalinya tahun ini, Malaysia telah memanggil utusan China untuk protes melawan gangguan mereka di Laut China Selatan.
Kementerian Luar Negeri Malaysia minggu ini mengirimkan catatan verbal 4 paragraf ke duta besar China Ouyang Yujing yang mengatakan Malaysia "memprotes melawan kehadiran dan aktivitas kapal-kapal China, termasuk kapal survei, di zona ekonomi eksklusif Malaysia lepas pantai Sabah dan Serawak."
"Kehadiran dan aktivitas kapal-kapal ini tidak konsisten dengan Aksi Zona Ekonomi Eksklusif Malaysia tahun 1984, demikian juga dengan UNCLOS 1982," ujar pernyataan tersebut.
"Posisi konsisten Malaysia dan aksinya didasarkan pada hukum internasional, mempertahankan kedaulatan kami dan hak berdaulat di perairan kami. Malaysia juga memprotes terhadap gangguan sebelumnya oleh kapal asing lain yang masuk ke wilayah laut kami," ujar pernyataan verbal tersebut.
Kata-kata protes tersebut datang hanya sehari setelah Perdana Menteri baru Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, memperjelas bahwa Malaysia "tidak akan berkompromi atas masalah kedaulatan" di Laut China Selatan.
Pada Juni lalu, Malaysia yang masih dipimpin perdana menteri lain, secara terbuka menuduh jet tempur China melanggar "zona udara dan kedaulatan Malaysia" dan berikrar "memiliki hubungan diplomatik ramah dengan negara manapun bukan berarti kami akan mengkompromikan keamanan nasional kami."
'Sebuah ancaman serius'
Menurut angkatan udara Malaysia, beberapa pesawat militer China, termasuk Ilyushin-76 dan Xian Y-20, disinyalir membuat sebuah "formasi taktis" di dalam zona udara Malaysia, yang kemudian menjadi "sebuah ancaman serius untuk keamanan nasional dan jaminan penerbangan."
Indonesia dan juga Filipina juga terlibat dalam manuver serupa untuk melawan gangguan China yang suka sewenang-wenang masuk ke zona ekonomi Indonesia dan Filipina, menunjukkan perlawanan yang makin ngotot terhadap aksi militer Beijing di laut penuh sengketa itu.
Faktanya, tiga negara kunci di ASEAN itu juga telah memperkuat kerjasama pertahanan dan strateginya dengan kekuatan luar, termasuk latihan militer besar-besaran dengan AS beberapa bulan belakangan.
Menurut sejarah, Malaysia telah mempertahankan hubungan yang relatif ramah dengan China, mitra dagang dan investasi pada beberapa puluh tahun belakangan.
Untuk bagiannya, Beijing telah sering mengadopsi pendekatan lebih halus ke Putrajaya di Laut China Selatan, di mana berbagai klaim telah tumpang tindih di sana.
Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan sekutu-sekutunya, yang kini kembali berkuasa, juga bergantung pada China sebagai pengawas strategi besar mereka selama bertahun-tahun.
Itulah mengapa sedikit pengamat tidak terkejut dengan posisi Malaysia di tengah posisi mereka terhadap AUKUS, ketika mereka menekankan "perlunya melihat pandangan China, terutama pejabat pertahanan China, tentang apa yang mereka pikirkan mengenai AUKUS dan apa aksi mereka selanjutnya."
Namun pada 3 tahun terakhir, Malaysia telah lambat laut mengulas diplomasi diam mereka dengan China di tengah ketegangan yang tumbuh di Laut China Selatan, dan juga karena kekhawatiran atas diplomasi 'jebakan utang' China.
Mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad secara terbuka mengkritik infastruktur yang dicurigai kemahalan dan jadi ladang korupsi di negara mereka, sementara ia juga memasang kuda-kuda lebih kuat terhadap ketegangan dengan Beijing.
Di bawah arahan Mahathir, Malaysia secara terbuka mengancam China dengan mengajukan arbitrase Laut China Selatan sembari secara terbuka mengkritik klaim ekspansif China, 'sembilan garis putus-putus' sebagai konyol.
Dimulai pada Desember 2019, Malaysia juga meningkatkan aktivitas eksplorasi energi mereka di wilayah yang sama-sama diklaim China dan Vietnam.
Walaupun administrasi Mahathir runtuh di tahun berikutnya, Malaysia tetap melanjutkan aktivitas eksplorasi energinya.
Melanjutkan ketegangan berbulan-bulan lamanya dengan armada China, yang secara terus-terusan mengganggu aktivitas kapal pengeboran minyak Malaysia West Capella, mantan Menteri Luar Negeri Hishammuddin Hussein menggaris bawahi: "Malaysia tetap tegas terhadap komitmennya menjaga kepentingan dan haknya di Laut China Selatan."
Segera setelah itu, bahkan raja Malaysia yang seharusnya hanya jadi simbol dan tidak berpolitik juga bergabung, meminta pemerintah Malaysia untuk "selalu sensitif terhadap klaim maritim dan mengadopsi sebuah strategi yang mendukung aspirasi geopolitik."
Minggu ini, pemerintah Malaysia menyatakan bahwa "menegaskan posisi Malaysia dan sumber aksi terkait isu Laut China Selatan, yang kompleks dan melibatkan hubungan antar negara, kepentingan nasional Malaysia akan tetap menjadi kepentingan utama."
Malaysia telah meningkatkan kemampuan pertahanannya dalam beberapa bulan terakhir.
Agustus kemarin, Angkatan Laut Malaysia melakukan latihan "Taming Sari" yang berlangsung seminggu, di mana mereka berhasil menguji langsung tiga tembakan rudal anti kapal dalam demonstrasi yang menunjukkan kemampuan pertahanannya yang terus tumbuh.