Penulis
Intisari-Online.com -Soal konflik di Laut China Selatan, Indonesia mencoba netral.
Militer Tanah Air tidak menerima klaim China atau pun bersekutu dengan Amerika Serikat (AS).
Buktinya, Indonesia telah menolak proposal AS untuk mengizinkan pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon mendarat dan mengisi bahan bakar di negara itu.
Hal itu menurut laporan Reuters seperti dilansir dari Sosok.ID pada Rabu (2/12/2020).
Laporan eksklusif ini didasarkan pada informasi dari empat pejabat senior Indonesia yang mengetahui masalah tersebut.
"Kami tidak ingin tertipu untuk melakukan kampanye anti-China," kata mantan duta besar Indonesia untuk AS Dino Patti Djalal kepada Reuters, dikutip via Global Times.
Pesawat pengintai maritim P-8 Poseidon AS telah memainkan peran penting dalam operasi pengawasan terhadap China, terutama aktivitas China di Laut China Selatan.
Pesawat pengintai P-8 telah mendarat di Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Namun, Indonesia tidak menyetujui permintaan AS untuk mendarat di tempatnya.
Dengan menolak pendaratan dan pengisian bahan bakar pesawat pengintai AS di Tanah Air, Indonesia menegaskan tidak akan berpihak pada urusan Laut China Selatan.
Indonesia juga dinilai tidak ingin AS mengganggu situasi regional, sebuah sikap yang benar dari kekuatan regional yang sebenarnya.
Namun, hal itu tidak lantas membuat Indonesia terbebas dari dampak konflik Laut China Selatan.
Bahkan disebutkan jika masalah yang sedang terjadi di Laut China Selatan terus berlanjut dan menyebabkan sengketa, hal itu berpotensi mengganggu ketahanan pangan Indonesia.
Mengutip CNN Indonesia,Rabu (29/09/2021), Guru Besar Universitas Jember, Achmad Subagio menjelaskan, hingga saat ini Indonesia masih mengimpor biomassa berupa karbohidrat sebesar 15 juta ton per tahun, yang nyaris setara dengan setengah kebutuhan beras nasional.
Dalam webinar bertemaCadangan Strategis Pangan untuk Kekuatan Pertahanan Indonesia pada Selasa (28/9),Subagio mengatakan, "Itu barang (15 juta ton impor karbohidrat) yang tidak mudah untuk kita dapatkan kalau ada problem di Laut China Selatan, impor kita jadi masalah. Anggaplah masalah hanya 5 juta ton, kita dapat dari mana?"
Maka dari itu, Subagio mendorong pemerintah memasifkan upaya dari hulu hingga hilir sejak dini demi mendapatkan solusi permasalahan.
Dia lalu memberi contoh perang gerilya yang dikomandoi Jenderal Sudirman.
Menurutnya, kemenangan Indonesia saat agresi militer Belanda II didukung oleh supalai pangan, yakni singkong yang mencukupi.
Ia menjelaskan, "Kalau kita lihat dalam sejarah bagaimana Pak Sudirman gerilya, salah satu kesuksesannya, ya, singkong. Beliau mempunyai sistem cadangan pangan strategis berupa oyek, singkong. Lalu didistribusikan rakyat kepada tentara sewaktu pergerakan."
Subagio memaparkan, saat ini Kementerian Pertahanan (Kemhan) mendapat tugas dari Presiden Joko Widodo untuk menjaga ketahanan pangan di luar Jawa dengan menggarap proyek lumbung pangan (food estate) di Kalimantan.
Kemhan pun memilih komoditas singkong sebagai cadangan logistik strategis (CLS).
Pengamat militer Universitas Pertamina, Ian Montratama menambahkan, kawasan Laut China Selatan terus memanas dengan kemitraan antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat yang bertujuan membangun kapal selam nuklir untuk Australia senilai Rp1.425 triliun.
Anggaran kapal selam nuklir itu melampaui dana pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) bagi tiga matra TNI, plus Polri.