Tokoh Sumpah Pemuda 1928: Belajar Biola Diam-diam hingga Buat Kaget Kakaknya Rukiyem saat di Pesta Kawinan

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

WR. Supratman menyumbangkan lagu bernuansa nasionalis bagi bangsa

Intisari-Oline.com- Selain terdiri dari panitia penyusun Kongres Pemuda Pertama, tokoh Sumpah Pemuda yang melanjutkan misi persatuan bangsa hingga terikrarkan Sumpah Pemuda 1928, juga memunculkan musisi nasionalis yang sekarang menjadi Pahlawan Nasional.

Orang kemudian mengenal Wage Rudolf Supratman sebagai komposer sekaligus pencipta lagu kebangsaan Indonesia.

Namun siapa yang tahu masa lalu dari masa kanak-kanak Supratman saat pertama kali dia menaruh minat pada musik?

Pada suatu hari, hati Supratman tergugah dan tertantang melihat permainan biola kakak perempuannya.

Baca Juga: Benarkah Indonesia Dijajah oleh Belanda Selama 350 Tahun? Fakta Ini Justru Membantahnya!

Dia ingin sekali memainkan biola, namun seperti biasa, Supratman akan mengerjakan keinginannya itu dengan diam-diam.

Hampir tiap hari, calon guru ini berlatih biola di kamarnya.

Umurnya baru 19 tahun ketika dia memamerkan kepandaiannya di sebuah pesta perkawinan.

Rukiyem, sang kakak, kali ini dibuatnya kaget.

Baca Juga: Sumpah Pemuda: Ini Syair Lengkap 'Indonesia Raya' Tiga Stanza, Ada Aturan dalam Menyanyikannya Juga, Lo!

Dalam dua tahun, permainan Wage Rudolf Supratman ternyata jauh lebih baik darinya.

Sejak saat itu, Supratman dikenal sebagai pemain biola di Ujung Pandang, tempat tingalnya bersama Rukiyem.

Mengenai nama asli WR. Supratman, nama pemberian orangtuanyahanyalah Supratman.

Tapi karena lahir pada hari Jum'at Wage, dia mendapat panggilan akrab di keluarga si Wage dan nama baptis Rudolf.

Lahir 9 Maret 1903, anak laki-laki tunggal putra sersan Kartodikromo ini sangat dimanja di keluarganya.

Ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi.

Baca Juga :Bukan W.R. Supratman, Inilah Orang Pertama yang Menyanyikan Lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda II

Supratman yang pendiam dan senang berkhayal ini makin tak betah di rumahnya di Jatinegara, Jakarta.

Akhirnya dia ikut kakak tertuanya ke Ujung Pandang.

Dengung pergerakan kebangsaan mulai terdengar di Ujung Pandang.

Sebagai remaja, WR. Supratman pun merasa terpanggil untuk mengenal gerakan yang berpusat di Pulau Jawa.

Baca Juga: 5 Kisah Unik di Balik Sumpah Pemuda, dari Naskah yang Ditulis Ulang Hingga Misteri Cinta WR Supratman

Supratman pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan.

Tak puas dengan Bandung, dia pindah ke Jakarta.

Sedikit demi sedikit pengaruh pergerakan nasional merasuk ke jiwanya.

Terciptanya Lagu 'Indonesia Raya'

Ketika pergerakan makin hangat-hangatnya, dari Yogyakarta muncul anjuran agar komponis Indonesia menciptakan lagu yang bisa dijadikan lagu kebangsaan.

WR. Supratman pun begitu gembira, berhari-hari, siang malam dia mempersiapkan lagunya.

Hari ke delapan, jam lima pagi dia berhasil menyelesaikan not sebuah lagu yang dirasa bersemangat dan mencerminkan semangat rakyat yang tak bisa dirantai.

Baca Juga: Bukan W.R. Supratman, Inilah Orang Pertama yang Melantunkan Lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda II

Supratman yakin lagu karangannya cocok dengan jiwa bangsa Indonesia yang sedang bangkit dari tidurnya yang lelap.

Dalam menyuun syairnya, Supratman teringat pidato Bung Karno di Bandung yang pernah didengarnya:

"Airnya kamu minum, nasinya kamu makan. Abdikanlah dirimu padanya. Kepada Ibu Pertiwi, Ibu Indonesia."

Dia kemudian menetapkan judul lagu ciptaannya, "Apa salahnya kalau aku namakan Indonesia Raya?", tanyanya pada diri sendiri.

Baca Juga :Sejarah Sumpah Pemuda 1928: Dari 'Ikrar Pemuda' menjadi 'Sumpah Pemuda'

Tanggal 22 Desember 1928 Supratman menulis surat ke pengurus Gedung Perhimpunan Indonesia di Kramat, Jakarta.

Isinya pemberitahuan telah tercipta sebuah lagu yang bersemangat dan berirama mars.

Dia minta diberi kesempatan untuk memperdengarkan lagunya, "Kalau pun tak dapat dipakai sebagai lagu pergerakan atau kebangsaan, memadailah kalau diperdengarkan", tulisnya.

Dia ingin memperkenalkan lagu barunya di kongres Pemuda Kedua 28 Oktober 1928.

Lagu Indonesia Raya kemudian diterima sebagai lagu perjuangan, pembangkit semangat dan tersimpan rapat di hati tiap orang.

Salinan lagu itu kemudian dicetak dan habis terjual, hingga mempercepat penyebarannya.

(*)

Artikel Terkait