Intisari-Online.com - Pernah terjadi berbagai pemberontakan di Indonesia.
Dua di antaranya 'merenggut' tokoh penting Sumpah Pemuda.
Mereka terlibat dalam pemberontakan dan dijatuhi hukuman mati usai berhasil ditangkap.
Kedua tokoh itu adalah Kartowoewirjo dan Amir Sjarifuddin.
Kartosoewirjo merupakan sosok yang memimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII/.
Sementara itu, Amir Sjarifuddin dihukum mati karena terlibat pemberontakan PKI Madiun.
Baik Kartosoewirjo maupun Amir Sjarifuddin merupakan tokoh penting Sumpah Pemuda,
Peristiwa Sumpah Pemuda terjadi sebelum Indonesia merdeka, tanggal 28 Oktober 1928, menjadi salah satu peristiwa yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia.
Sumpah Pemuda terjadi ketika para wakil pemuda dari berbagai latar belakang ideologi politik, ras, suku dan agama mengucap janji Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, yakni Indonesia.
Ada 13 tokoh penting dalam pembacaan teks sumpah pemuda ini.
Mereka adalah Seonario, J. Leimena, Soegondo Djojopoespito, Djoko Marsaid, M.Yamin, Amir Syarifuddin Harahap, W.R. Supratman, S. Mangoensarkoro, Kartosoewirjo, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, A.K. Gani, dan Sie Kong Liong.
Siapa sangka, suatu hari setelah peristiwa Sumpah Pemuda, beberapa dari mereka terpaksa dieksekusi karena pemberontakan yang mereka pimpin.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dilahirkan di Cepu, Blora, Jawa Tengah pada 7 Januari 1905.
Ia merupakan salah satu anak dari dari 7 anak Kartodikromo, seorang lurah di Cepu.
Ia mempunyai adik yang berapaham Marxisme bernama Marco Kartodikromo, seorang penulis anti-Belanda.
Di tahun 1901, Pemerintah Belanda menerapkan politik etis atau politik balas budi, di mana banyak sekolah modern yang dibukan untuk penduduk pribumi.
Kartosoewirjo adalah salah seorang diantaranya yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini.
Ia mengenyam pendidikan hingga melanjutkan studi ke tingkat Perguruan Tinggi, yakni Sekolah Ilmu Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.
Saat itu ia mulai terlibat dalam diskusi-diskusi dan gerakan-gerakan politik kebangsaan, terutama saat dirinya tergabung dalam organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.
Dalam organisasi tersebut, Bung Karno juga turut serta, menjadikan kedua tokoh ini dikenal sebagai sahabat dekat.
Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
Di masa perang kemerdekaan 1945-1949 Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap keras dan prinsip ideologinya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah.
Salah satunya ditunjukkan ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah.
Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Kartosoewirjo menolak mentah mentah semua perjanjian yang diadakan oleh Belanda, termasuk Perjanjian Renville.
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat dengan ditandatangani Perjanjian Renville semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia.
Pemberontakan yang dipimpinnya berlangsung lama, terlebih muncul DI/TII di berbagai daerah.
Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Eksekusinya terjadi pada a 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Ada kisah menyayat hati yang sering diceritakan dari hukuman mati yang dijatuhkan pada tokoh penting Sumpah Pemuda ini.
Bahwa, Presiden Soekarno sempat menangis ketika harus menandatangani surat keputusan untuk eksekusi tersebut.
Baca Juga: Tak Perlu Sampai Digaruk Segala, Pakai 3 Bahan Alami Ini Saja Bisa Sembuhkan Biduran
Amir Syarifuddin Harahap
Amir Sjarifuddin, satu lagi tokoh sumpah pemuda yang hidupnya berakhir dengan hukuman mati yang dijatuhkan padanya.
Setelah menempuh pendidikan di Belanda, Amir Syarifuddin kembali ke Indonesia pada 1927.
Faktor ekonomi keluarga yang terpuruk setelah ayahnya berhenti bekerja menjadi alasan ia kembali.
Sebelumnya, ia bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) Medan dan dikenal sebagai siswa yang cerdas dan brilian, kemudian melanjutkan pendidikan di Sibolga dan selesai pada 1921.
Saat diselenggarakannya Kongres Pemuda pada tahun 1928 Amir Sjarifuddin turut ambil bagian.
Menjadi bendahara acara itu, Amir menjadi salah-satu wakil Jong Sumatra dan ikut membidani kelahiran organisasi Jong Batak.
Pada 1937, Amir mendirikan Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), yang berusaha membina segenap kekuatan-kekuatan antifasis dan prodemokrasi.
Pada awal 1943, saat Jepang masuk ke Indonesia, Amir sempat ditangkap Kempetai Jepang dan dijatuhi hukuman mati.
Baca Juga: Tak Perlu Sampai Digaruk Segala, Pakai 3 Bahan Alami Ini Saja Bisa Sembuhkan Biduran
Ia dianggap mengorganisasi gerakan gawah tanah, namun hukuman itu tidak pernah dijalankan setelah ada intervensi Sukarno-Hatta.
Amir Sjarifuddin selamat dari hukuman mati Jepang berkat Soekarno-Hatta yang menyelamatkannya, namun beberapa tahun kemudian ia tetap harus menghadapi eksekusi.
Pada tahun 1948, meledak peristiwa Madiun, yang menurut sejarah resmi disebut sebagai pemberontakan PKI di Madiun.
Amir Sjarifuddin, dieksekusi mati karena dianggap terlibat dalam peristiwa pemberontakan tersebut.
Baca Juga: Tak Perlu Sampai Digaruk Segala, Pakai 3 Bahan Alami Ini Saja Bisa Sembuhkan Biduran
Pada 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.
Amir Sjarifuddin sendiri pernah dipercaya menjadi menteri dalam kabinet awal.
Ia juga menjadi Perdana Menteri (PM) Indonesia pada 1947, bahkan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville yang disepakati 17 Januari 1948.
Seperti Kartosoewirjo, ia merupakan salah satu tokoh penting Sumpah Pemuda yang dieksekusi dalam sejarah Pemberontakan di Indonesia.
(*)