Salah seorang pengungsi lain, Misaqui de Jesus Agustinho, mengisahkan kondisi keterbatasan hidup yang dijalaninya di kamp pengungsi Tuapukan.
Pria yang tinggal di kamp tersebut sejak usia 6 tahun tersebut mengisahkan kehidupan para pengungsi memburuk usai bantuan dari PBB berhenti setelah pada 2002, status pengungsi dihapus oleh UNHCR.
"Sesudah itu kita mulai hidup cari kayu untuk buat rumah darurat sementara," ujar pria yang lahir di Dili, Timor Leste ini.
"Kita potong kayu untuk dibuatkan tiang untuk rumah. Daun lontar dijadikan atap kita. Karena kita tidak bisa membeli alat-alat, bahan bangunan, jadi kita memakai apa yang ada di lingkungan kita," tutur pria yang akrab dipanggil Oky ini.
"Dan sampai sekarang kita masih hidup di rumah beratapkan daun lontar, dengan [dinding] bebak-bebak yang hampir lapuk."
'Ditolong' Risha
Namun, kini, para eks pengungsi Timor Timur ini boleh sedikit bernapas lega dalam menatap masa depan anak cucu mereka.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai membangun rumah khusus (rusus) di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).