Penulis
Intisari-Online.com -Hendro Utomo (53) akan mendengarkan pengeras suara dari masjid lokal yang mengumumkan siapa saja yang meninggal di hari sebelumnya.
"Lima, delapan meninggal di sana, hanya di lingkungan saya saja," ujar Utomo, yang menjalankan bank makanan.
"Tiap beberapa menit kami mendengar ambulans, sirene, dan kabar seseorang meninggal."
Juli kemarin, Jakarta, ibukota Indonesia, menjadi pusat pandemi Covid-19 di Asia Tenggara.
Rumah sakit kehabisan ranjang atau oksigen untuk menjaga pasien tetap hidup.
Kematian di Jakarta terus bertambah dan terjadi di rumah mereka masing-masing karena tidak ada fasilitas medis yang membawa mereka.
Dokter IGD seperti Debryna Dewi (29) harus secara teratur menentukan pasien mana yang menerima perawatan di RS dan mana yang dikirim pulang.
"Ini bukan hal normal," ujarnya.
"Ini bukan daerah yang diserang gempa bumi atau tsunami, ini adalah rumah sakit di ibukota," ujarnya dikutip dari Insider.
Pada pertengahan Agustus, hampir separuh dari populasi kota tertular virus dan setidaknya 5200 warga meninggal karena Covid-19.
Saat kasusnya mulai menurun, pemerintah mengumumkan pada 23 Agustus mereka melonggarkan perbatasan di wilayah Jakarta, membuka kembali restoran, mall, dan juga tempat ibadah.
Pada pertengahan September, tingkat infeksi dan korban jiwa Indonesia mulai menurun seperti data dari Menteri Kesehatan.
Menkes menekankan dorongan ambisius untuk vaksinasi Indonesia dan mengubah kondisi darurat menjadi endemi yang artinya bisa hidup berdampingan dengan Covid-19.
Pulau Bali dapat terbuka untuk turis asing Oktober besok, kata Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan.
Namun saat Indonesia siap dengan tujuan ini, masih ada bayang-bayang isu-isu lain yang membuat Jakarta rentan dengan krisis.
Melalui pembicaraan dengan dokter lokal, epidemiolog, dan analis data, redaksi Insider mengidentifikasi ada tiga faktor: data kurang akurat, kesenjangan akses medis dan kurangnya akses vaksin.
Sementara Jakarta kini memiliki tingkat vaksinasi tinggi, ketiga isu ini terus terjadi di wilayah lain di Indonesia.
Sekitar 23% dari populasi telah divaksin, tapi vaksinasi tinggi hanya di kota itu saja, sedangkan angka vaksinasi masih berputar di angka satu digit di provinsi-provinsi lain.
Analis data secara spesifik mendesak kehati-hatian, khawatir jika Indonesia tidak mengumpulkan atau mempublikasi data yang cukup untuk mengetahui jika Indonesia siap dibuka.
Pemerintah daerah bertanggung jawab dalam mengirim data pandemi ke pemerintah pusat untuk menghitung data kasus harian dan kematian harian.
Namun kurangnya data bisa terjadi karena satu isu besar di Indonesia: tidak semua kematian Covid-19 dilaporkan di daerah-daerah ditambahkan ke jumlah nasional, ujar Elina Ciptadi, pendiri Kawal Covid, organisasi relawan para analis yang mengkurasi data Covid-19 di Indonesia.
"Data dikurasi dari tingkat kota, sampai tingkat distrik, ke tingkat provinsi kemudian tingkat nasional," ujar Ciptadi.
"Kami tidak tahu di mana data menghilang."
Bukan rahasia lagi, rupanya Indonesia memang tidak menghitung kematian Covid-19 jika korban memiliki kondisi lain yang sudah ada sebelumnya atau jika tidak dites Covid-19.
Arahan ini kontras dengan arahan WHO.
Kawal Covid memperkirakan jika kematian di Jakarta mencapai tiga setengah kali lebih banyak dari angka dari pemerintah.
Lapor Covid, organisasi pengawas independen, mengatakan jumlah kematian Indonesia 6 kali lebih buruk pada suatu saat, menurut pada penelitian mereka di desa-desa di seluruh Indonesia.
Di Jakarta sendiri saja jumlah kematian resmi menunjukkan sekitar 5200 orang meninggal dari Covid-19 antara 15 Juni dan 15 Agustus, tapi laporan yang sama menunjukkan ada 12.200 pemakaman di mana jasad-jasad dikubur dengan prosedur Covid-19.
Ini sebagian adalah salah pemerintah lokal, ujar Pandu Riono, epidemiolog di Universitas Indonesia yang dikonsultasikan sebagai pihak akademi oleh Menteri Kesehatan.
"Jika mereka meningkatkan pengetesan, mereka akan mendeteksi lebih banyak kasus. Jika mereka mendeteksi lebih banyak kasus, kota-kota akan masuk zona merah. Jika kota mereka masuk zona merah, maka akan ada PPKM lebih ketat. Mereka tidak ingin melakukannya karena ekonomi akan menurun," ujar Pandu.
Pasien juga ragu untuk melakukan tes, terutama di wilayah kota.