4. Mayjen S. Parman
Mayjen S. Parman disergap pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB.
Berdasarkan arsip Harian Kompas, 23 Oktober 1965, perwira yang pernah berjuang di peristiwa Madiun, APRA, D.I. Jawa Barat dan Jawa Tengah ini tidak menyadari kedatangan rombongan penculik, karena menggunakan seragam Cakrabirawa.
Laki-laki bernama lengkap Siswondo Parman ini dibawa pergi setelah rombongan penculik mengatakan suasana di luar genting.
Saat itu, rumahnya tidak ada yang menjaga, hanya ada istri dan anaknya di sana. Penculikan itu berjalan dengan lancar.
5. Brigjend D.I. Panjaitan
D.I. Panjaitan diculik pada 1 Oktober 1965 waktu subuh.
Tapi, ia mengira pasukan itu ditugasi untuk menjemput dirinya agar bertemu dengan Soekarno.
Panjaitan pun berpakaian rapi, resmi, lengkap dengan topi, layaknya akan pergi ke satu upacara. Namun tanpa diduga, pasukan itu justru menembaki barang-barang yang ada di rumahnya.
Sempat melawan, ia malah ditembak di halaman rumahnya seketika itu juga, dan langsung dibawa pergi.
6. Brigjen Sutoyo Siswodiharjo
Merujuk arsip Harian Kompas, 19 November 1965, penculikan Sutoyo terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi.
Sutoyo dipanggil dan disebut diminta untuk menemui Soekarno di Istana Kepresidenan.
Setelah memenuhi panggilan itu, Sutoyo pun diajak untuk naik ke truk, kendaraan yang digunakan rombongan penculik.
Saat di atas truk itu, Sutoyo diikat tangannya dan ditutup matanya.
Lalu, ia diturunkan di sebuah rumah dekat Lubang Buaya dan menjadi salah satu korban tragedi kelam Indonesia ini.
7. Jenderal A.H. Nasution yang 'digantikan' Lettu Pierre Andreas Tendean
Jenderal A.H. Nasution merupakan target sesungguhnya.
Tapi, saat rombongan itu datang dan bertanya kepada Tendean, apakah dia adalah A.H. Nasution, tanpa ragu Tendean menjawab, "Ya, saya lah Jenderal Nasution", meski ia tahu apa risikonya.
Akhirnya ajudan Jenderal A.H. Nasution tersebut yang menjadi korban peristiwa berdarah ini.
Selain ketujuh tokoh di atas, ada 3 korban lainnya, di antaranya Aipda K.S. Tubun, Brigjen Katamso, dan Kolonel Sugiono
Namun, jasad mereka tidak turut dibuang dalam sumur yang sama dengan ketujuh korban lainnya.
Kesepuluh tokoh tersebut dianugerahi gelar sebagai pahlwan revolusi untuk menghormati jasa dan pengorbanannya.
Sementara itu, para Pahlawan Revolusi dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Baca Juga: Dibentuk Jepang, Berapa Anggota BPUPKI yang Merupakan Orang Jepang?
(*)