Penulis
Intisari-online.com -Korea Utara (Korut) tampaknya selalu memiliki hubungan yang tidak sehat dengan Amerika Serikat (AS).
Hal ini karena AS menjadi penentang utama program senjata nuklir yang dikembangkan Korea Utara secara masif.
Korea Utara sudah lama mengembangkan program nuklir ini.
Tercatat sejak Kim Jong-Un menjabat, yaitu 2011, Korut mulai mengembangkan program senjata nuklir.
Tentu saja hal itu menjadi masalah bagi dunia.
Sebagai negara adidaya, AS pun berusaha menghentikannya.
Sudah sejak pemerintahan Obama, AS berupaya menghentikan program nuklir Korut.
Korut juga mendapatkan sanksi dari PBB karena meneruskan program nuklir tersebut.
Sanksi berupa tidak ada lagi bantuan kemanusiaan bagi Korut yang senantiasa mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pangannya.
AS juga berusaha membantu Korut keluar dari sanksi tersebut.
Dari tiga presiden AS sejak Obama, belum ada yang berhasil menjembatani program nuklir Korut dengan baik.
Harapan sempat muncul ketika Donald Trump berupaya melaksanakan pembicaraan langsung dengan Kim Jong-Un dalam beberapa kali pertemuan tingkat tinggi mereka.
Namun diskusi itu tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.
Kini, dengan pemerintahan Joe Biden mulai menjabat, Korea Utara menjadi masalah baru lagi.
Mengutip Business Mirror, Korut tampaknya telah memulai kembali operasi reaktor nuklir utama mereka yang digunakan untuk membuat bahan bakar senjata itu.
Hal ini disampaikan oleh badan pengawas senjata nuklir (IAEA) ketika Korut secara terbuka mengancam memperbesar persenjataan nuklir mereka di tengah diplomasi nuklir yang sudah lama mati suri dengan AS.
Laporan tahunan oleh IAEA merujuk kepada reaktor 5 megawatt di kompleks nuklir utama Korut di Yongbyon, utara Pyongyang.
Reaktor tersebut memproduksi plutonium, salah satu dari dua bahan utama yang digunakan untuk membangun senjata nuklir dengan uranium yang terus diperkaya.
"Sejak awal Juli 2021, telah ada indikasi termasuk pembuangan air pendinginan, konsisten dengan operasi reaktor," ujar laporan IAEA tertanggal Jumat 27 Agustus 2021.
Laporan mengatakan ada indikasi operasi laboratorium radiokimia di Yongbyon dari pertengahan Februari sampai awal Juli tahun ini.
Dikatakan periode operasi ini konsisten dengan kampanye pemrosesan kembali yang diumumkan Korut terkait pembuangan bahan bakar iradiasi dari reaktor.
Laboratorium itu adalah sebuah fasilitas di mana plutonium diekstrak dengan memproses kembali sisa bahan bakar yang dibuang dari reaktor.
"Aktivitas nuklir Korut terus menjadi penyebab kekhawatiran yang besar. Lebih jauh lagi, indikasi baru pengoperasian reaktor 5 megawatt dan laboratorium radiokimia sangat mengganggu kami," ujar IAEA.
IAEA sampai saat ini tidak mendapatkan akses ke Yongbyon atau tempat lain di Korut sejak negara itu membuang inspektor IAEA tahun 2009.
IAEA mengatakan mereka menggunakan citra satelit dan informasi dari internet untuk mengawasi perkembangan program nuklir Korea Utara.
Kompleks Yongbyon juga memproduksi uranium yang diperkaya, kunci lain untuk bahan bakar nuklir.
Laporan IAEA mengatakan "ada indikasi selama beberapa waktu bahwa fasilitas sentrifugal pengkayaan tidak beroperasi" walaupun pergerakan alat-alat itu juga diawasi.
Kompleks yang disebut Korut sebagai "jantung" program nuklir dan penelitian mereka itu telah menjadi pusat kekhawatiran internasional selama berpuluh-puluh tahun.
Tidak jelas seberapa banyak plutonium atau uranium yang telah diproduksi di Yongbyon atau di mana Korut menyimpannya.
Korut diyakini menjalankan berbagai fasilitas pengkayaan uranium tertutup lainnya.
Menurut perkiraan Korea Selatan tahun 2018, Korut mungkin sudah memproduksi 20-60 senjata nuklir.
Dalam beberapa bulan terakhir, Korut telah memperingatkan akan memperluas program nuklir jika AS tidak menarik kebijakan "kasar" kepada Korut.
Yang mereka maksud adalah sanksi yang dipimpin AS dan latihan militer yang secara teratur dilakukan oleh AS-Korsel.
Awal bulan ini, adik perempuan Kim Jong-Un yaitu Kim Yo-Jong, mengatakan Korut akan meningkatkan "pertahanan mutlak" untuk menghadapi ancaman AS yang meningkat.
Lee Jong-joo, juru bicara bagi Kementerian Unifikasi Korsel, mengatakan Senin lalu jika Korsel memperhatikan dengan seksama aktivitas nuklir dan rudal Korut dengan AS.
Namun ia menolak berkomentar apakah Seoul melihat tanda bahwa Korut mengaktifkan ulang fasilitas nuklirnya.