Penulis
Intisari-online.com - Kehadiran militer Indonesia di Timor Leste, ternyata sempat membawanya ke ambang peperangan dengan Australia.
Ini terjadi saat Indonesia yang berada di Timor Leste, sementara Australia juga berada di sana sebagai pasukan perdamaian.
Menurut New Mandala insiden ini terjadi tahun 1999, saat Timor Leste sedang melakukan pemungutan suara.
Australia saat itu ditunjuk oleh PBB sebagai pasukan perdamaian, yang mendorong kemerdekaan Timor Leste.
Kehadiran Australia di sana justru membuatnya berada dalam pihak berlawanan.
Pasa September 1999, ketika Timor Leste menyuarakan kemerdekaan, negara itu terancam lepas kendali dalam krisis keamanan dan kemanusiaaan.
Australia diberi mandat untuk menjaga perdamaian dan keamanan di Timor Leste.
Namun, kekerasan terjadi dipicu oleh milisi pro-Indonesia, yang menentang pemungutan suara, sampai membuat Xanana Gusmao meminta bantuan ke PBB.
Pasukan Internasional yang dikenal dengan INTERFET, melibatkan 20 negara termasuk Australia dikerahkan.
Pengerahan itu bisa jadi kesalahan besar dalam memahami implikasinya bagi hubungan Australia dengan Indonesia.
Dari semula dikerahkan untuk meningkatkan keamanan kawasan, justru memantik ketegangan Indonesia Australia.
Tetapi ada satu masalah pemicu, sepertisatu tindakan tidak bertanggung jawab oleh individu atau kelompok dapat dengan mudah meningkat menjadi bentrokan berdarah yang akan sangat sulit untuk dilepaskan atau mundur.
Perdana Menteri saat itu, John Howard, mengklaim keterlibatan Australia dalam pembebasan Timor Timur 1999 masih diingat dalam ingatan bangsa Asia Tenggara.
Ini secara langsung mengarah pada lahirnya negara yang sangat kecil yang rakyatnya sangat bersyukur atas apa yang kami lakukan, katanya.
Tantangan keamanan nyata bagi INTERFET selalu terjadi pada minggu pertama, dan taruhannya tinggi.
Ada kemungkinan bahwa kelompok-kelompok milisi akan terus memprovokasi orang Timor, yang mengarah ke pertempuran dengan pasukan INTERFET.
Ini membuatnya mengarah pada ketidaksengajaan atau kesalahan penilaian, sehingga militer Indonesia (TNI) dan pasukan INTERFET mungkin bentrok.
Panglima Darurat Militer Indonesia, Letnan Jenderal Kiki Syahnakri, dengan sigap mengambil tindakan untuk menghindari apa saja yang bisa menjadi bentrokan.
Dia memahami taruhan tinggi dan konsekuensi jangka panjang yang berpotensi bentrokan bersenjata yang mengarah ke konflik yang lebih luas antara Australia dan Indonesia.
Selain itu, pengerahan pasukan tempur dalam jumlah besar yang cepat dan kuat, awalnya dari Australia, Selandia Baru, dan Inggris, merupakan penghalang yang tegas bagi berlanjutnya kehadiran kelompok milisi.
KemudianINTERFET dapat melakukan semacam 'pendudukan jinak' di Timor Leste untuk memulihkan kepercayaan.
Yang paling penting, memungkinkan pengembalian dan penyebaran layanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi non-pemerintah.
Kepala Angkatan Pertahanan Australia, Laksamana Chris Barrie, berperan penting dalam menyusun koalisi multi-nasional.