Penulis
Intisari-Online.com - Isi Perjanjian Bongaya ditandatangani Kesultanan Gowa dengan VOC pada 18 November 1667 Masehi di daerah Bongaya.
Kesepakatan tersebut ditandatangani sebagai perjanjian damai setelah keduanya terlibat perang sengit.
Dahulu, Kerajaan Gowa menjadi pusat perekonomian para pedagang, baik domestik maupun pedagang asing.
Namun, sebagai produsen rempah, Kesultanan Gowa terlibat konflik kepentingan dengan VOC, yang pelaku monopoli rempah di kawasan timur Hindia.
VOC khawatir kehilangan pengaruhnya di wilayah Makassar, karena aktivitas perdagangannya bertumpu pada monopoli rempah-rempah.
Perlawanan Kerajaan Gowa menghadapi Belanda mencapai puncak masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, putera Sultan Muhammad Said dan cucu Sultan Alaudin pada 1653-1669 Masehi.
Semakin berat perjuangan yang haryus dilakukan Sultan Hasanuddin, karena selain menghadapi Belanda, ia dan pasukannya juga harus menghadapi perlawanan Arung Palakka dari Soppeng-Bone pada tahun 1660 Masehi.
Terlibatnya Arung Palaka dalam pertempuran dengan Kesultanan Bone juga merupakan campur tangan VOC.
VOC bergerak menggalang bantuan dari Kesultanan Bone yang dipimpin Arung Palakka, di mana kerajaan ini memiliki dendam terhadap Kerultanan Gowa.
Arung Palaka pun menerima permintaan dari VOC dengan alasan ingin membalas kekalahannya atas Gowa-Tallo dan merebut kembali kemerdekaan Bone.
Akhirnya, Kesultanan Gowa harus menghadapi dua kekuatan tersebut.
Ketika tidak sanggup lagi melawan, akhirnya Kesultanan Gowa sepakat untuk menandatangani isi Perjanjian Bongaya.
Meski disebut sebagai perjanjian damai, nyatanya perjanjian itu justru 'mengesahkan monopoli perdagangan VOC di Makassar'.
Isi Perjanjian Bongaya tak jauh dari penguatan pengaruh VOC di Makassar, termasuk 'memaksa' Makassar yang dikuasai Kerajaan Gowa untuk mengakui monopoli VOC.
Kemudian, wilayah Makassar dipersempit hingga tinggal Gowa saja. Ditambah, Gowa terturup bagi orang asing selain VOC.
Perjanjian ini juga mengatur Kerajaan Gowa untuk membayar ganti rugi atas peperangan, dan benteng-benteng yang ada harus dihancurkan kecuali Benteng Rotterdam.
Dirugikan atas perjanjian ini, Kesultanan Gowa sempat kembali berupaya melakukan perlawanan.
Sultan Hasanuddin kembali memimpin peperangan dengan Belanda.
Awalnya Belanda memang sempat kewalahan. Namun dengan senjata lengkap, mereka dapat memukul mundur Sultan Hasanuddin.
Kesultanan Gowa pun menghadapi kenyataan bahwa Perjanjian Bongaya menjadi awal mula keruntuhannya.
Pertahanan Sultan Hasanuddin kembali terpuruk ketika Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda.
Pada 1669, Arung Palaka menyerang benteng Somba Opu dengan kekuatan sekitar 7.000-8.000 pasukan.
Arung Palaka dapat menaklukan benteng Somba Opu dan Sultan Hasanudin beserta pasukannya melarikan diri hingga meninggal pada tahun 1670.
Setelah runtuhnya Kesultanan Gowa, Bone menjadi kerajaan terkuat seantero Sulawesi. Namun, kekuasaannya tetap berada di bawah pengaruh Belanda dan menunggu gilirannya untuk mengikuti nasib Kesultanan Gowa.
(*)