Di masa lalu, banyak siswanya yang ikut berperang melawan pendudukan militer Indonesia.
Mereka juga menjadi anggota klandestin yang aktif dalam mendukung pejuang gerilya dan beberapa memberikan kontribusi signifikan untuk memenangkan kemerdekaan negara itu pada tahun 2002.
Namun, setelah kemerdekaan Timor Leste, justru siswa seni bela diri terlibat dalam persaingan dan mulai saling membunuh di jalan-jalan seperti yang terjadi pada tahun 2006 selama krisis politik.
Selama masa krisis Timor Leste itu, puluhan orang tewas dan puluhan ribu orang mengungsi di negara setengah pulau kecil itu.
Perdana Menteri Xanana Gusmao mengeluarkan resolusi yang melarang klub-klub populer.
Sementara seni bela diri yang kurang populer, seperti karate, kung fu, taekwondo dan judo, tidak dilarang.
Gusmao mengatakan, dia telah mencoba untuk bekerja dengan kelompok selama bertahun-tahun untuk memungkinkan klub bela diri di Timor Leste terus beroperasi secara damai.
Tetapi, mengatakan tujuan asli dan filosofi seni bela diri telah hilang di Timor Timur.
"Saya tidak punya belas kasihan dan kesabaran lagi," kata Gusmao, yang menambahkan bahwa dia telah mencoba bekerja dengan kelompok-kelompok itu sejak menjadi presiden pertama negara itu pada 2002.
"Saya tidak bisa mentolerir situasi lagi, dan saya tidak bisa mengizinkannya lagi," katanya.
Saat itu, Gusmao mengatakan polisi dan anggota militer telah diperintahkan untuk meninggalkan kelompok seni bela diri atau dipecat.
Beberapa klub secara terbuka menyerahkan seragam mereka kepada polisi di depan pejabat pemerintah, tetapi polisi mengatakan beberapa anggota terus melakukan pelatihan mereka secara diam-diam di malam hari.