Penulis
Intisari-online.com - Seperti kita tahu China kini telah berevolusi menjadi nekara Komunis, merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
Namun jauh sebelum itu mereka adalah sebuah negara kerajaan yang memiliki wilayah kekuasan cukup besar di Asia Timur.
Tahun 1912, Pu Yi kaisar terakhir Tiongkok turun takhta, dan pemerintahan Dinasti Qing atau Manchi runtuh.
Demikian pula dengan para bangsawan Dinasti Qing, yang kehilangan dukungan mereka setelah itu.
Lantas bagaimana dengan kehidupan keluarga kerajaan itu setelah kerajaanya runtuh digantikan dengan ideologi komunis?
Sebelumnya perlu diketahu, anggota Dinasti Qing dibagi menjadi 2 keluarga kerajaan dan keluarga raja.
Keluarga raja adalah keturunan langsung dari Nurhaci, kaisar pertama dinasti Qing.
Namun, setelah runtuhnya dinasti Qing 80.000 keturunan kerajaan, dan 60.000 orang dari dinastu Qing, dengan total seluruh keluarga kerajaan 140.000.
Pada masa itu Pu Yi yang berusia 6 tahun, turun takhta, namunmenurut "Piagam Preferensi Kerajaan" dalam perjanjian antara pengadilan dan pemerintah Nasionalis yang baru, PuYi terus tinggal di Kota Terlarang.
Selain itu, sebagian anggota kerajaan yang tinggal di Kota Terlarang juga menikmati "Piagam Preferensi Kerajaan" sehingga kehidupan masih relatif makmur.
Situasi ini dipertahankan sampai Jenderal Nasionalis Yuan Shih Kaimelancarkan kudeta di Beijing.
Mantan kaisar dan anggota keluarga kerajaan diusir dari Kota Terlarang oleh Yuan Shih Kai.
Penghasilan tetap yang besar telah lama menghilang, membuat para pangeran bangsawan dalam keadaan kebingungan.
Menurut Sina, dengan banyaknya emas dan perak yang terkumpul seiring dengan bisnis keluarga, para pangeran bangsawan seharusnya masih bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Namun karena sudah terbiasa hidup mewah dan boros,mereka menjual harta bendanya untuk hidup.
Kehidupan sehari-hari Shangshu Zhen Zhen setelah jatuhnya Dinasti Qing masih sangat mewah.
Selir memenuhi rumah, bersama dengan kecanduan opium, sehingga pengeluaran harian istana kerajaan sangat mahal.
Ketika tentara Jepang menduduki Tianjin, bisnis kerajaan menjadi sulit, danbangsawan hanya perlu secara bertahap menjual benda-benda berharga di rumah untuk hidup.
Pangeran tidak terbiasa mengelola uang, jadi semua aset di rumah diserahkan kepada pengurus rumah tangga.
Setelah uang di rumah menurun dengan cepat, mereka hanya perlu secara bertahap menjual barang-barang berharga di rumah seperti perhiasan, barang antik, lukisan kaligrafi, untuk hidup.
Pada tahun 1939, Taifeng menjual rumahnya kepada pemerintah boneka Jepang, menerima lebih dari 200.000 yuan, dan menyimpannya di bank untuk mendapatkan bunga secara bertahap untuk menutupi kehidupan.
Ada juga anggota kerajaan yang tak bisa berpangku tangan, tetapi mencari cara untuk mencari nafkah dengan melakukan pekerjaan fisik seperti menarik gerobak.
Berkat itu, mereka masih punya makanan untuk dipakai.
Selain itu, di sepanjang jalan juga banyak orang yang menentang harkat, mengemis, mencuri, dan menggali kuburan leluhurnya.
Beberapa wanita bahkan menjual tubuh mereka.
Acara sosial ini memberikan tekanan mental yang besar kepada orang-orang Manchu.
Mereka seperti jatuh dari surga ke neraka.
Mereka tidak hanya terjerumus ke dalam kehidupan yang sulit, mereka juga mengalami kerusakan psikologis akibat inferiority complex.
Banyak Manchu mengubah nama keluarga mereka, menyamar sebagai klan Han untuk menyembunyikan asal etnis mereka.
Ada seorang bangsawan Manchu yang pernah menulis syair berikut, "Bangsa ini sengsara seperti sampah. Siapa yang berani menyebut diri mereka Manchu?"
Syair ini mungkin juga merupakan luapan hati sebagian besar bangsawan Manchu pada waktu itu.
Pada saat itu, sebagian besar orang Manchu mengubah nama mereka. Orang-orang dengan nama belakang semuanya berubah menjadi nama belakang Kim.