Advertorial
Intisari-online.com -Bianca Andreescu, bintang tenis Kanada, baru-baru ini umumkan ia tidak akan menghadiri Olimpiade Tokyo karena risiko terkena Covid-19.
Tidak mengherankan ia mengambil keputusan seperti itu, kasus Covid-19 terus-terusan meningkat di seluruh dunia saat ini.
Sedangkan angka vaksinasi di Jepang juga memprihatinkan.
Hanya 30% dari petugas medis di Jepang yang baru divaksinasi, sedangkan dari populasi global Jepang hanya seperempat dari total populasi yang baru divaksin.
Pelancong dari Kanada dan 158 negara lain dilarang masuk Jepang, terkecuali di bawah "kondisi pengecualian."
Jika ia memilih tampil, Andreescu bersama ribuan atlet luar negeri lain akan masuk ke Jepang untuk Olimpiade.
Saat ini, total 15.400 atlet masuk ke Jepang untuk Olimpiade, sedangkan pelatih dan staf pendukungnya belum dihitung.
Jika mereka ikut dihitung tentunya angka akan semakin besar.
Perawat dan dokter Jepang sudah menyatakan peringatan.
Mereka menyatakan kepada pejabat Olimpiade jika sistem kesehatan Jepang kurang sumber daya manusia untuk secara efektif melindungi warga Jepang dan menyokong peserta Olimpiade dan tim mereka.
Namun, saran dari WHO juga kurang memuaskan.
WHO hanya mendesak yang menghadiri Olimpiade untuk berhati-hati.
Pertanyaannya, mengapa WHO membiarkan Olimpiade terlaksana meskipun taruhannya adalah nyawa para atlet?
Rupanya, ada sejarah panjang antara WHO dan penyelenggara Olimpiade, IOC.
Dilansir dari Asia Times, sejarah ini mundur ke kesepakatan tahun 1984.
Namun, peran penasihat WHO dalam keamanan Olimpiade telah diserang beberapa tahun belakangan.
Ketika virus Zika melumpuhkan Brasil menyebabkan keraguan Olimpiade Rio 2016 dilanjutkan atau tidak.
Sekelompok dokter berjumlah 150 dokter dan cendekiawan menulis surat terbuka mendesak WHO untuk melaksanakan diskusi transparan mengenai risiko penularan Zika di Olimpiade.
Surat itu menunjukkan hubungan dekat WHO dengan IOC menyebabkan WHO tidak bisa netral dalam menilai risiko dari virus Zika.
Olimpiade Rio 2016, tentu saja, dilanjutkan.
WHO benar saat itu, acaranya aman.
Penularan virus Zika, setidaknya bagi pengunjung, tidak terasa dan tidak tampak.
Kedekatan mereka sudah tercetak dalam kerjasama tahun 2010 yang menekankan kemitraan "untuk mempromosikan pilihan gaya hidup bebas termasuk aktivitas fisik, olahraga untuk semua, Olimpiade bebas tembakau dan pencegahan obesitas anak kecil."
Fokus mereka adalah penyakit nonkomunal seperti jantung atau penyempitan pembuluh darah, kanker dan diabetes.
Memorandum ini hangus sebelum Olimpiade Rio 2016, tapi WHO berkomitmen untuk melaksanakan penilaian berhati-hati dan menyeluruh mengenai risiko kesehatan berkaitan dengan acara itu.
WHO berkomitmen melindungi kondisi fisik warga Brasil dan sisa pengunjungnya.
Perlu diingat, tahun 2016 virus Zika tidak menjadi sumber pandemi baru, sesuatu yang sangat berbeda dengan virus Corona sejak 2020 kemarin.
Tentu saja taruhannya lebih banyak baik untuk IOC, WHO, dan warga Jepang.
Meskipun Covid-19 telah menuntun Komite Penyelenggara Tokyo untuk melarang sebagian besar penonton ada di stadion, acara tetap berlanjut meskipun tidak diminati warga dan tingkat vaksinasi yang rendah.
Survei terbaru tunjukkan bahwa 83% warga Jepang tidak ingin Olimpiade dilaksanakan, takut dengan ledakan kasus Covid-19.
Fakta bahwa IOC tetap ngeyel untuk meraup keuntungan sementara Tokyo bahkan kesulitan mengatasi status darurat, tidak mampu menghasilkan pendapatan tiket untuk mengimbangi sebagian investasinya di Olimpiade semakin menimbulkan tuduhan jika Olimpiade bertindak dalam kepentingan uang, bukan kesehatan.
Serta, kesejahteraan rakyat Jepang dikorbankan untuk kapitalisme.
Baca Juga: Agar Tak Jadi Komorbid Covid-19, Begini 6 Cara Alami Cegah Diabetes, Salah Satunya Setop Merokok!
Sudah jelas bahwa aksi IOC dan aksi WHO diam-diam ini tidak sesuai dengan kesepakatan terbaru 2020 kemarin.
Masih tidak jelas seberapa batas yang mereka tetapkan selama pandemi ini untuk memenuhi komitmen "menguatkan kesiapan kesehatan dan warisan Olimpiade."