Penulis
Intisari-Online.com - Pada akhir Juni lalu, publik dihebohkan dengan isu rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro sebagai pejabat di BUMN, tepatnya Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Ketika itu, Statuta UI yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 dengan tegas melarang Rektor UI merangkap jabatan, termasuk di antaranya menjadi pejabat di perusahaan pelat merah.
Pasal 35 dari beleid tersebut menuliskan, "Rektor dan wakil rektor dilarang merangkap sebagai...sebagai … c) pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta".
Tidak lama berselang, pada 2 Juli 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 68/2013 tentang Statuta Universitas Indonesia menjadi PP Nomor 75/2021.
Di antara perubahan yang dibuat adalah poin mengenai rangkap jabatan Rektor UI.
Dalam aturan terbaru, rangkap jabatan di BUMN/BUMD hanya dilarang untuk jabatan direksi.
Secara tak langsung, Jokowi sama saja izinkan Rektor UI rangkap jabatan hingga trending tagar #PresidenTerburukDalamSejarah.
Namun, terlepas dari itu ada Rektor UI lainnya yang tak kalah kontroversial.
Dia adalah Nugroho Notosusanto, Rektor UI ke-8 dengan masa jabatan tahun 1983-1985.
Ketika Nugroho dilantik menjadi Rektor UI, ia disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI.
Mahasiswa menganggap Nugroho adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.
Oleh sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, penulisan sejarah Indonesia dalam buku-buku sejarah bahkan dikatakan penuh dengan rekayasa.
Upaya ini telah dilakukan pemerintah Orde Baru sejak awal berdirinya rezim sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto.
Asvi menyebut bahwa Nugroho Notosusanto dan Pusat Sejarah ABRI sangat berperan besar dalam penulisan rekayasa sejarah itu.
Terdapat tiga proyek utama Nugroho Notosusanto. Pertama adalah mengenai sejarah percobaan kudeta tahun 1965.
Yang kedua adalah mengenai de-Soekarnoisasi.
Asvi mengatakan, ia sering mengutip sejarawan Perancis Jacques Leclerc bahwa Soekarno telah "dibunuh dua kali" (21 Juni 1970 ia wafat setelah sakit dan tidak memperoleh perawatan sebagaimana semestinya serta sejak 1 Juni 1970 peringatan hari lahir Pancasila dilarang oleh Kopkamtib).
Ketiga, adalah tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang merupakan proyek nasional dalam bidang pendidikan yang bermula dari apa yang terjadi di kalangan ABRI.
Jenderal Jusuf selaku Panglima ABRI melaporkan kepada Presiden Soeharto bahwa banyak taruna AKABRI yang tidak kenal dengan pahlawan bangsa.
Bahkan dapat ditambahkan pula bahwa buku pedoman sejarah ABRI merupakan model atau dilanjutkan dengan buku pedoman sejarah nasional yang kemudian dikenal sebagai SNI (Sejarah Nasional Indonesia).
(*)