Penulis
Intisari-online.com -Saat Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menarik pasukannya dari Afghanistan, tidak ada yang mengira kelompok militan Taliban akan segera mendapatkan koalisi.
Namun ternyata, hal itu benar-benar terjadi.
Perang Afghanistan yang dulunya diluncurkan AS setelah serangan 9/11 oleh Osama Bin Laden kini sudah sepakat diakhiri.
AS sudah tidak sanggup menanggung perang yang sudah berjalan selama hampir 20 tahun itu.
Namun dengan ditariknya pasukan AS dari Afghanistan, banyak warga Afghanistan yang merasa takut.
Ketakutan itu disebabkan satu hal: Taliban.
Sebagai kelompok militan Islamis paling ketat di dunia, Taliban terkenal keji menghukum siapa saja yang tidak mereka sukai.
Tetap saja, sejak kabar AS mengakhiri perang Afghanistan, tidak ada yang terpikir jika Taliban bisa bersekutu dengan China.
China terkenal dengan kekejaman mereka terhadap satu minoritas Muslim: Uighur, yang dikabarkan ditahan oleh pemerintah China dalam kamp konsentrasi.
Bagaimana mungkin keduanya bekerja sama? Ternyata memang mungkin.
Mengutip CNN, mengikuti penarikan pasukan AS dari Afghanistan, Taliban kembali berkuasa, mengambil kendali sebagian besar negara itu.
Betapa cepatnya pasukan keamanan Afghanistan kalah kepada Taliban telah mengejutkan banyak orang, dan menuntun pada kekhawatiran bahwa Kabul bisa jatuh musim gugur mendatang.
Namun Taliban sudah merencanakan masa depan bersama China.
Juru bicara Taliban kepada South China Morning Post awal minggu ini mengatakan China adalah "teman ramah" dan pembicaraan terkait rekonstruksi seharusnya dimulai "secepat mungkin."
Kemungkinan pemerintah China bekerjasama dengan Taliban setelah hubungn AS-Afghanistan mungkin tidak serta merta tercipta.
Diketahui, Afghanistan tetap menjadi musuh kunci dalam perkembangan wilayah yang direncanakan China.
Mei kemarin, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan Beijing berdiskusi dengan Islamabad dan Kabul untuk memperpanjang China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) ke Afghanistan, termasuk memperluas jaringan perdagangan dan transportasi antara tiga negara.
China juga tidak menolak untuk berurusan dengan Taliban, dengan menerima secara publik kelompok militan itu di Beijing pada September 2019 lalu untuk pembicaraan perdamaian.
Muka dua Taliban
Taliban sementara itu telah memperjelas bersedia mengabaikan semua keluhan yang dirasakan.
Juru bicara Taliban mengatakan kepada Wall Street Journal awal bulan ini kelompok itu tidak memiliki niat untuk mengkritik kekejaman China kepada umat Muslim Uighur di Xinjiang.
"Kami peduli mengenai serangan kepada Muslim… tapi kami tidak akan ikut campur dengan hubungan dalam negeri China," ujarnya.
Senator Pakistan Mushahid Hussain, kepala Institut Pakistan-China, mengatakan Taliban lebih "pragmatis" daripada yang berkuasa di Taliban sebelumnya.
Kelompok teroris itu memandang China sebagai "pemangku kebijakan kredibel" di Afghanistan.
"(Jika mereka berkuasa) mereka akan memerlukan dukungan China untuk stabilitas dan rekonstruksi Afghanistan. Mengganggu China adalah resep utama untuk menciptakan bencana bagi Taliban," ujarnya.
Sebaliknya, kerusakan terkait situasi keamanan Afghanistan juga akan sangat mengganggu China.
Mereka telah berinvestasi besar-besaran di Asia Tengah lewat skema perdagangan dan infrastruktur Belt and Road.
Beberapa tahun terakhir, militan Islamis telah menyerang warga kewarganegaraan China dan ketertarikan mereka kepada provinsi Balochistan di Pakistan yang berbatasan dengan Afghanistan.
Prospek kekerasan ke depannya menciptakan kondisi tidak nyaman bagi Beijing, demikian pula dengan tumbuhnya militan China menemukan suaka di wilayah perbatasan Afghanistan yang tidak dikenai hukum.
Sejauh ini pemerintah China belum mengumumkan respon terhadap keuntungan Taliban.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, sedang mengunjungi Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan minggu ini.
Ia diperkirakan membahas isu Afghanistan dengan lawan bicaranya selama perjalanan itu.
Namun, dalam unggahan media sosial yang viral, Hu Xijin editor media pemerintah China, Global Times, mengatakan Taliban menganggap China "seorang teman."
Global Timessementara itu, menyebut media Barat mencoba menghancurkan hubungan Taliban-Beijing dengan mempertanyakan Xinjiang.
"Barat tidak peduli terkait HAM manusia Uighur. Mereka hanya berharap menghancurkan hubungan Taliban-Beijing," ujarnya.