Digadang-gadang Jadi Obat Covid-19 Murah Setelah Vaksin Kini Berbayar, Ivermectin Ternyata Sampai Hampir Bikin Pencetusnya Dituntut Penjara BPOM, Aktivitas Mencurigakan Ini Sebabnya

Maymunah Nasution

Penulis

Ivermectin

Intisari-online.com -Pemerintah Indonesia kembali tuai polemik setelah meluncurkan program vaksin berbayar.

Program yang direncanakan lewat skema vaksinasi gotong royong individu itu dinilai oleh anggota DPR menjadi komersialisasi vaksin Covid-19.

"Maka dengan perdagangan vaksin ini, saya pikir akan memberatkan dan akan menguntungkan sepihak saja," ujar anggota Komisi IX DPR RI Aliyah Mustika Ilham dalam keterangan resmi, Senin (12/7) dikutip dari Kontan.

Ia menilai pemerintah tidak peduli kepada masyarakat, yang seharusnya menjamin akses penuh masyarakat kepada vaksin tanpa biaya.

Baca Juga: Vaksin Covid-19 Segera Bisa Dibeli di Klinik Kimia Farma, Tahap Awal Hanya Bisa Diperoleh di Tempat-tempat Ini

"Vaksin itu gratis, kesehatan rakyat itu tidak untuk dikomersialkan. Seharusnya vaksin ini itu tidak dijual bebas," terang politisi Partai Demokrat itu.

Lewat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 tahun 2021, diaturlah skema vaksin gotong royong individu yang biayanya dibebankan kepada penerima vaksin.

Vaksin yang dipakai adalah vaksin buatan Sinopharm dengan banderol harga sama dengan vaksinasi gotong royong perusahaan senilai Rp 879.140 untuk dua dosis termasuk layanannya.

Dengan vaksin mulai semakin sulit dijangkau oleh warga, banyak yang mencari pengobatan oral untuk mengatasi Covid-19.

Baca Juga: Pantas Saja Banyak yang Menyebut Vaksin Sinovac Kurang Efektif, Ini Alasan Indonesia Tetap Ngotot Gunakan Vaksin Asal China Itu, Lihat Perbandingannya dengan 2 Vaksin Lainnya

Di sinilah obat yang baru-baru ini viral, Ivermectin, muncul.

Ivermectin berhasil menarik perhatian banyak orang di Indonesia terutama yang menolak disuntik untuk vaksinasi karena proses yang membingungkan dan memakan waktu.

Sudah lama beredar isu di media sosial mengenai betapa hebatnya obat ini sebagai cara murah menangani pandemi Covid-19.

Bahkan dulunya dokter-dokter Indonesia termasuk di RS pemerintah telah secara rutin meresepkan obat ini sejak pertengahan 2020.

Baca Juga: Hasil Tinjauan Komite Keamanan Obat Eropa: Vaksin Pfizer dan Moderna Berisiko Munculkan Peradangan Jantung!

Di sinilah akhirnya pebisnis Indonesia bernama Haryoseno mulai mencetuskan program pengobatan Covid-19 ini.

Ia mulai mengembangkan Ivermectin, obat parasit berumur 40 tahun sebagai obat yang murah dan efektif menanggulangi virus Corona.

Kepala staf presiden Moeldoko mendukung agar obat ini resmi disetujui untuk dijual bebas, tapi BPOM akhirnya memberi lampu hijau bagi perusahaan farmasi milik Haryoseno, Harsen Laboratoium, untuk mengembangkan obat ini pada 20 Juni 2021 kemarin.

Mengutip Asia Times, kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito bersikeras jika Ivermax 12 spesifik hanya untuk penyakit parasit, sesuatu yang sebelumnya diharapkan ditulis dalam kotak Harsen yang dibagikan ke toko-toko obat lokal dengan harga Rp 256 ribu untuk 10 tablet.

Baca Juga: Warga Indonesia Boleh Bernapas Lega,WHO Perkenalkan Obat Kedua untuk Pasien Covid-19, Cocok Digunakan di Tanah Air yangRumah Sakitnya Nyaris Kolaps

Kemudian dengan penjualan meningkat, BPOM tiba-tiba mencabut lisensinya 2 minggu kemudian lalu memberikannya kepada perusahaan farmasi milik negara, PT Indofarma.

Masalah yang timbul kemudian adalah Indofarma melaporkan hanya punya pasokan terbatas, tidak cukup untuk mereka melakukan pengujian klinis yang diperlukan untuk membuktikan efikasi obat itu melawan Covid-19.

Indofarma sedang kelimpungan mendapatkan pasokan untuk obat tersebut, sedangkan pasokan yang ditimbun di gudang Harsen menjadi kecurigaan baru.

Haryoseno menggunakan bahan mentah yang diimpor dari India seperti mengutip Asia Times, dan dengan Harsen ia memproduksi obat tersebut dengan skala besar, sebelum obat tersebut disetujui oleh WHO atau BPOM sendiri.

Baca Juga: Obat Terapi Ini Bisa Diberikan pada Pasien Covid-19 yang Lakukan Isolasi Mandiri di Rumah dan Layanan Telemedicine yang Bisa Dihubungi

Kini tentunya posisi Haryoseno sangat terancam, ia berisiko kehilangan bisnisnya setelah menghabiskan banyak uang tidak hanya untuk membeli bahan mentah dari India dan China tapi juga untuk melakukan penelitiannya sendiri di Harsen.

BPOM menuduh Harsen gagal bekerjasama dengan program monitoring dari BPOM dengan secara ilegam mengimpor bahan mentah untuk Ivermax 12, membagikan sampel gratis tanpa izin dan secara ilegal memperpanjang tanggal kadaluarsanya.

Di bawah Undang-Undang Kesehatan Masyarakat 2019, siapapun yang membuat atau membagikan produk farmasi tanpa izin BPOM dipenjara maksimal 10 tahun dalam penjara dan denda Rp 1 milyar.

Artikel Terkait