Penulis
Intisari-online.com -Timor Leste kian tergiur dengan pendapatan USD 600 Juta jika pengeboran sumur Buffalo-10 berhasil dibor akhir Oktober tahun ini.
Lagi-lagi, operator dalam proyek ini adalah perusahaan Australia, Carnarvon Petroleum.
Tidak hanya Australia, Inggris lewat Advance Energy mengatakan mereka juga akan terlibat dalam pengeboran kilang minyak Buffalo di lepas pantai Timor Leste.
Carnarvon dan Advance mengatakan mereka telah memilih rig pengeboran jack up untuk eksplorasi sumur Buffalo-10 dan kontak formal sekarang sedang difinalisasi.
Semua terlaksana dengan baik maka pengeboran akan dimulai akhir Oktober dan hasilnya akan keluar awal Desember.
Melansir Energy Voice, Carnarvon Petroloeum dan Advance Energy berharap mengembangkan lebih dari 30 juta barel minyak yang tampaknya ditinggalkan oleh operator sebelumnya, termasuk BHP dan Nexen Petroleum di lepas pantai Timor Leste.
Ladang minyak Buffalo awalnya ditemukan pada tahun 1996 oleh BHP dan menghasilkan 20,5 juta barel minyak ringan antara tahun 1999 dan 2004.
BHP mengoperasikan lapangan tersebut selama dua tahun sebelum dijual ke Nexen.
Kedua operator gagal membuka kunci minyak yang ada di puncak geologis lapangan, yang dikenal sebagai loteng.
Cadangan minyak yang disebut loteng tersebut adalah minyak/gas yang terletak di antara sumber tertinggi dalam reservoir dan segel reservoirnya.
Biasanya sangat sulit memproduksi minyak cadangan jenis ini.
Eksplorasi sumur Buffalo-10 akan menguji keberadaan simpanan cadangan minyak loteng itu.
Meski beberapa pengamat industri skeptis melihat operator sebelumnya bisa melewatkan cadangan minyak sebesar itu, CEO Advance, Leslie Peterkin, menjelaskan rasionalisasinya mengenai taruhan besar di ladang minyak itu.
Jika pengeboran terbukti berhasil dan mereka menemukan sekitar 30 juta barel minyak, maka Timor Lorosa'e dapat mengantongi sekitar USD 450 juta selama masa proyek lima tahun, menurut Peter Strachan, seorang analis energi independen yang berbasis di Perth.
Ini didasarkan pada harga minyak USD 75 per barel dengan biaya pengembangan dipatok USD 450 juta dan biaya operasi USD 1.050 juta.
Jika biaya pembangunan kurang dari USD 450 juta ($15/barel) maka pemerintah Timor Lorosa'e akan menerima lebih banyak.
“Keuntungan bagi pemerintah bisa melihatnya mengantongi USD 610 juta selama masa proyek lima tahun,” kata Strachan kepada Energy Voice.
Kepala eksekutif Carnarvon Adrian Cook mengatakan bahwa “ladang Buffalo memberikan peluang bagus untuk dengan cepat memberikan pengembangan minyak berbiaya rendah yang siap memanfaatkan pasar minyak yang menguat dan memperkirakan kekurangan pasokan.”
Jika proyek ini lolos, maka Timor Leste kembali terjebak dalam urusan pengeboran minyak bersama Australia yang sudah lama memperalat mereka demi cadangan minyaknya.
Sejak merdeka, hubungan Timor Leste dengan Australia telah ditutupi oleh satu faktor penting: minyak dan gas dalam perbatasan maritim mereka.
Hubungan memburuk tahun 2012 ketika Timor Leste menantang Perjanjian Susunan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) yang disepakati dua negara tahun 2006.
Kesepakatan itu mengatur moratorium 50 tahun dalam negosiasi batas maritim, atau 5 tahun setelah eksploitasi ladang minyak Greater Sunrise berakhir, yang ternyata terjadi lebih cepat.
Tuduhan merebak tahun 2013 ketika mantan agen ASIS (kini dikenal dengan Saksi K) membeberkan jika Australia telah memata-matai pejabat Timor Leste selama negosiasi perjanjian CMATS.
Timor Leste segera menuntut kasus tersebut dan meminta sidang di Den Haag menantang kesepakatan yang dikatakan ingin dilaksanakan atas niat baik.
Australia malu dengan pemaparan tersebut, tapi berniat mempertahankan perjanjian dan fokus dalam perjanjian pembagian hasil.
Namun, Timor Leste berargumen jika sumber daya minyak dan gas di Laut Timor akan ada di sisi lain garis tengah dan kemudian mereka mendorong batasan permanan ditarik antar dua negara.
Saat hubungan memburuk, kunjungan kementerian menurun dalam 5 tahun.
Karena Australia telah meninggalkan pengadilan internasional sebagai upaya menyelesaikan batas maritim tahun 2002, Timor Leste hanya punya satu pilihan terakhir.
Tahun 2016, mereka mengawali penggunaan proses konsiliasi UNCLOS: mediasi wajib tidak mengikat antara negara yang sedang bersengketa secara maritim.
Panel konsiliasi terdiri dari 5 hakim menemukan kesepakatan CMATS dalam menentukan batas maritim terbilang invalid.