Penulis
Intisari-Online.com – Akankah orang Timor Leste kehilangan harapan, setelah berubah dari kesuksesan demokrasi jadi negara minyak yang gagal?
Kekerasan faksi 2006-2008 akhirnya berakhir dan yang terakhir dari 100.000 pengungsi yang mengungsi selama konflik telah dipulangkan ke rumah mereka.
Perdamaian telah berlangsung di Timor Leste sejak saat itu.
Merupakan pencapaian monumental untuk tempat yang pernah dikenal dengan penjajahan kolonial yang brutal dan perang saudara yang menghancurkan pulau itu selama tiga abad.
Setelah rakyat Timor Leste memilih untuk menyerah dari Indonesi dalam referendum 1999, negara mereka dihancurkan oleh milisi yang didukung Indonesia.
Dengan bantuan masyarakat internasional, orang Timor Leste mulai membangun negara-bangsanya dari nol.
Dalam perjalanannya, Timor Leste menunjukkan kepemimpinan global di antara negara-negara berkembang.
Menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang benar-benar bergerak ke arah demokrasi yang lebih banyak, bukannya lebih sedikit.
Timor Lorosa’e telah menikmati pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun berturut-turut dengan dukungan royalti dari minyak dan gas.
Timor Leste mengikuti Norwegia yang menyimpan pendapatan dari minyak tersebut dalam dana kekayaan negara khusus.
Setelah lama absen pada tahun 2018, Timor Leste mencatatkan keberhasilan awal negara ini, yaitu rencana elektrifikasi pedesaan yang meningkatkan cakupan dari 20% rumah tangga pada tahun 2002 menjadi 80% telah membawa banyak desa keluar dari kegelapan.
Kemudian beberapa gedung tinggi mengilap di ibu kota Dili, dengan mal modern dan waralaba global sudah dibangun.
Namun, ledakan pariwisata yang diprediksi seperti pola yang ditetapkan oleh negara-negara pasca-konflik lainnya seperti Kamboja dan Myanmar tidak pernah terwujud.
Pada 2018, hanya 75.000 wisatawan yang berkunjung ke Timor Leste.
Dengan angka itu, kira-kira turis yang datang ke Bali selama empat hari.
Jalanan bahkan lebih buruk daripada satu dekade sebelumnya.
Sekarang, perjalanan 40 km dari Dili ke One Dollar Beach, tempat menyelam kelas dunia, memakan waktu dua jam di jalan tanah dengan lubang seukuran kawah bom, melansir Nikkei Asia (17/10/2020).
Ketika hujan turun pada suatu sore, bisa ditemukan sungai di tengah kota Dili.
Lalu kemana perginya $10 miliar yang diklaim pemerintah berturut-turut untuk infrastruktur selama 18 tahun terakhir?
Perubahan yang paling terlihat adalah sesuatu yang jauh lebih tidak nyata, yaitu hilangnya harapan.
Satu hal yang menonjol adalah harapan masyarakat Timor Leste untuk masa depan yang lebih baik, sekarang sudah hilang.
Di Tibar, pinggiran Dili, di mana pelabuhan komersial senilai $500 juta sedang dibangun, terlihat anak-anak berusia delapan tahun bekerja sebagai pemulung di tempat pembuangan sampah.
“Saya lapar,” kata seorang pria, menyimpulkan penderitaan bangsanya.
"Tidak ada infrastruktur dengan kualitas apa pun," kata seorang investor asing di ibu kota Dili baru-baru ini tanpa mau disebutkan namanya.
"Tenaga kerja saat ini sebagian besar tidak berpendidikan dan tidak terampil sementara anak-anak menghadapi masa depan yang suram tanpa prospek pekerjaan."
Kenyataan yang tidak mengenakkan saat ini adalah pelayanan publik Timor Leste berantakan dari atas ke bawah.
Industri pariwisata telah dibungkam oleh para menteri yang tidak tahu bagaimana maju ke depan atau menerima saran kecuali itu menguntungkan diri mereka sendiri.
Selain beberapa perkebunan kopi kecil, tidak ada aliran pendapatan yang dicatat.
Setelah sumur minyak mengering, maka tidak akan ada apa-apa lagi.
Mungkin yang terburuk dari semuanya adalah bahwa setelah mengucurkan $650 juga pada tahun 2018 kepada Shell dan ConocoPhilips untuk membeli saham mereka di ladang minyak dan gas Greater Sunrise yang dioperasikan oleh Woodside Petroleum Australia, saham Timor Leste sekarang bernilai nol.
Kesepakatan itu adalah langkah pertama dalam rencana besar yang dibuat oleh pahlawan kemerdekaan dan mantan perdana menteri dan presiden Xanana Gusmao untuk membangun industri perminyakan dalam negeri.
Rencana tersebut termasuk $450 juta untuk bandara dan jalan raya di pantai selatan yang jarang penduduknya, meskipun ada saran dari setiap ahli bahwa seluruh rencana itu tidak layak.
Setelah dibekukan, ini merugikan Timor Leste setidaknya $1,1 miliar, hampir sama dengan produk domestik bruto negara itu tahun lalu.
Sementara itu, investasi di bidang pertanian yang 80% penduduknya andalkan untuk bertahan hidup, hanya menarik sekitar 2% dari APBN tahun 2019.
Investasi di bidang kesehatan sebesar 0,3% dari PDB, dan pendidikan 0,2% dari PDB, bahkan lebih buruk lagi.
Alokasi bagian terbesar dari pengeluaran pemerintah justru untuk infrastruktur skala besar dan proyek-proyek besar.
Pendekatan untuk pembangunan ekonomi harus disesuaikan dengan pendekatan yang berfokus pada penyediaan layanan dasar dan membangun industri yang lebih beragam, sehingga menciptakan pekerjaan jangka panjagn seperti pariwisata dan manufaktur.
Sampai ini terjadi, Timor Leste menempati peringkat satu lagi negara minyak yang gagal, diganggu oleh kelaparan dan keputusasaan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari