Penulis
Intisari-Online.com – Inilah kisah penyesalan warga Timor Leste yang salah pilih saat referendum.
13 hari usai peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 30 Agustus 1999, digelar referendum di Timor Timur.
Sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen penduduk Timor Timur memilih tetap bergabung dengan Indonesia, sedangkan mayoritas 344.580 orang atau 78.5 persen warga Timor Timur memilih merekat.
Akhirnya, provinsi ke-27 Indonesia itu lepas dari negara tercinta ini dan memperoleh status resminya sebagai negara pada 20 Mei 2002.
Kemudian mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke Nusa Tenggara Timur.
Menurut data Sekretariat Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT tahun 2005, seperti melansir dari CNN Indonesia, tinggal di Kabupaten Belu.
Sebanyak 11.176 orang di Timor Tengah Utara, dan 11.360 orang di Kupang. Total pengungsi tercatat berjumlah 104.436 orang.
Dalam sebuah postingan di media sosial Instagram di akun papua_talk terlihat gambaran Desa Manusat, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Rumah berdinding bambu atau kayu beratapkan daun lontar berlantaikan tanah, dengan tanah gersang di sekeliling rumah, serta bebatuan besar di sekitarnya.
Seorang wanita paruh baya membawa ember dan jeriken berisi air, rupanya berjalan cukup jauh untuk sekadar memiliki air bersih.
Tampak pula seorang wanita memintal benang di depan rumahnya yang gersang.
Fredu Simenes, warga asli Timor Timur yang saat ini mengungsi, berada di Reset Clemen, sementara sebagian saudara masih berada di Telowaki, Tuapukan, Neibona.
Dia mengatakan, bahwa dari tahun 1999 setelah diadakannya referendum, hingga saat ini, dia tetap menjadi pengungsi karena statusnya tidak jelas.
Dia tidak memiliki lahan untuk digarap dan tidak memiliki apa-apa untuk anak cucunya kelak keluar dari penderitaan yang dirasakannya selama ini.
Sebagai ketua RT, dia sudah meminta kepada pemerintah melalui lembaga terkait, untuk bagaimana caranya mengulurkan tangan agar mereka bisa keluar dari penderitaa ini.
“Kami sebenarnya salah pilih pada tahun 1999 itu,” kata Simenes.
Dia mengatakan kalau dia pro-kemerdekaan, itu karena merasa bahwa Timor Timur adalah tanah kelahirannya meskipun mereka harus menderita.
Tetapi bila pro-integrasi, kenapa sampai saat ini pemerintah Indonesia tidak serius memperhatikan kehidupan para pengungsi yang sudah memilih ikut Indonesia.
Bahkan sudah 13 tahun para pengungsi itu masih menderita.
Sejak tahun 1999 itu bantuan dari pemerintah sudah tutup, bahkan sejak 2002 pengungsi Timor Timur sudah diakhiri.
Menurut Simenes, seandainya pengungsi Timor Timur sudah diakhirnya, seharusnya difasilitasi, baik air, ataupun jalan yang lebih baik.
Tetapi sampai saat ini mereka merasa tidak difasilitasi, sampai saat ini mereka tetaplah menjadi pengungsi.
Sedangkan Fransisco Raga, seorang anggota TNI AD, mengatakan, mengungsi dari Timor Timur sejak 14 Oktober 1999, karena perang politik.
“Kami cinta Merah Putih, cinta tanah air Indonesia,” kata Fransisco.
Menurutnya, dia memilih hidup mati di sini, di bumi Indonesia, tetapi sayangnya pemerintah tidak menghiraukan, tidak peduli lagi.
“Ketika butuh tenaga……. Tetapi ketika salah sedikit saja, kami tidak dihiraukan,” katanya lagi.
Dia menyatakan ingin pulang ke Timor Leste, tetapi tidak bisa karena di sana dia dianggap telah membunuh banyak orang sehubungan dengan tugasnya sebagai TNI AD.
Fransisco merasa memiliki tanah kelahiran, yaitu Timor Leste, bahkan keluarga pun masih ada di tanah itu, tetapi dia ingin pulang ke tanah kelahirannya tidak bisa.
“Kesalahan kami adalah merampas hidup banyak orang,” katanya.
Mereka tak pernah tahu, kapan penderitaan yang selama ini mereka rasakan akan berakhir.
Adakah pemerintah Indonesia ‘menengok’ sedikit kepada mereka yang telah memilih tanah air ini? (ktw)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari