Penulis
Intisari-Online.com - Referendum Timor Leste yang digelar tahun 1999 menunjukkan hasil bahwa mayoritas warga di sana, yang saat itu bernama Timor Timur, tidak menginginkan integrasi dengan Indonesia.
Artinya, kebanyakan pemilih dalam referendum tersebut menginginkan kemerdekaan setelah 24 tahun menjadi provinsi ke-27 Indonesia.
Konflik, kelaparan, hingga penyakit yang terjadi di sana konon menjadi alasan warga Timor Leste ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Namun, meski hasil referendum menunjukkan demikian, warga Timor Leste tetap terbagi ke dalam kelompok pro-kemerdekaan dan pro-integrasi.
Kelompok pro-integrasi tetap pada pilihannya meski hasil referendum yang diumumkan tak memenangkan pilihan mereka.
Bahkan, kerusuhan yang pecah setelah diumumkannya hasil referendum Timor Leste dikaitkan dengan militan pro-integrasi atau anti-kemerdekaan.
Kerusuhan di Timor Leste yang juga dikenal sebagai 'Krisis Timor Timor 1999' itu diyakini menewaskan sekitar 1.400 penduduk, setelah dimulainya serangan militan anti-kemerdekaan terhadap warga sipil.
Serangan itu meluas menjadi kerusuhan di seluruh Timor Timur, berpusat di ibu kota Dili, hingga Tentara PBB (Interfet) dikirim untuk mengembalikan stabilitas dan menjaga perdamaian.
Krisis Timor Timor 1999 reda setelah kedatangan pasukan penjaga perdamaian tersebut, namun orang-orang Timor Timur yang mendukung integrasi dihantui ketakutan atau enggan untuk kembali ke kampung halaman.
Mereka pun memilih untuk mengungsi ke wilayah sekitar, termasuk Indonesia, sebagian ada juga yang mengungsi ke Australia.
Kemerdekaan Timor Leste melahirkan pengungsi-pengungsi yang hingga kini tinggal di Indonesia dan tak kembali ke tanah kelahiran mereka.
Seperti apa kisah warga Timor Leste yang mengungsi ke Timor Barat atau wilayah Indonesia setelah referendum tahun 1999?
Salah satu kisah datang dari pria bernama Muhajir Hornai Bello dan keluarganya.
Melansir Tribun Papua (2/9/2019), Muhajir menceritakan kisahnya pergi dari Timor Leste, juga kondisi mereka setelah mengungsi, bertepatan dengan 20 tahun kemerdekaan Timor Leste.
Muhajir tinggal di Desa Noelbaki, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) atau wilayah Timor Barat.
Sejak mengungsi dari Timor Leste, Muhajir (42) tak pernah beranjak dari pengungsian di desa itu.
Muhajir dan keluarganya tinggal di rumah darurat beratapkan seng di Noelbaki.
Di desa yang kini ia tinggali, Muhajir tinggal bersama 3000 orang lainnya yang sama-sama mengungsi dari Timor Leste pasca referendum 1999.
"Saya dulu di Timor Leste di Kabupaten Viqueque," katanya.
"Saya pindah sama keluarga, mengungsi ke negara Indonesia. Termasuk bapak, mama, istri, anak semuanya ikut," ujar mantan petani ini mengawali perbincangan dengan ABC, dikutip dari Tribun Papua.
Meski banyak keluarganya ikut mengungsi bersamanya, namun ada pula anggota keluarga yang berbeda pilihan.
"(Saya) sedih karena kita pisah dengan keluarga, artinya kurang lebih ya 3-4 bulan itu kami masih sedih," katanya.
"Banyak yang masih tinggal di Timor Leste, termasuk saudaranya bapak, saudara kakak bapak, saudara adik bapak, banyak yang masih di sana."
Hubungannya dengan sang adik juga sempat putus lantaran perbedaan pilihan.
"Sempat putus komunikasi hampir 5 tahun," katanya.
"Dulu kan anggaplah ideologi, namanya pilihan, mereka pilih merdeka, saya ingin bergabung dengan Indonesia itu artinya beda pendapat," katanya.
"Tidak sempat yang ribut-ribut bagaimana tapi artinya kita sempat beda pendapat," sambung Muhajir.
Ayah empat anak ini masih ingat betul bagaimana ia tiba pertama kali di Noelbaki.
Dengan menumpang kapal TNI (Tentara Nasional Indonesia), ia dan keluarga datang ke Kupang bergabung bersama para pengungsi lain dari sejumlah kabupaten.
"Kira-kira seribu lebih orang ada di kapal itu," katanya.
"Itu semua orang dari beberapa kabupaten yang pro-integrasi mereka mengungsi bersama, ada 3 kapal perang TNI (yang digunakan mengungsi) seingat saya," bebernya.
Di awal kedatangannya di pengungsian, Muhajir mengaku tidak melakukan pekerjaan apapun karena berpikir akan kembali ke kampung halamannya.
"Setahun pertama kami datang ke sini itu kegiatan tidak ada, karena dipikirnya itu akan kembali ke Timor-Timur (Timor Leste) lagi, makanya tidak ada aktivitas hanya tunggu saja bantuan kemanusiaan." ujarnya.
Muhajir benar-benar tak mencari mata pencaharian atau melakukan aktivitas selayaknya orang yang memulai hidup baru.
"Tidak ada aktivitas seperti buat kebun, tanam sayur atau apa karena tadinya pengen mau pulang," kisahnya.
Meski mendapatkan bantuan pemerintah, namun Muhajir mengungkapkan bahwa itu hanya di awal kedatangan mereka saja.
"Pemerintah hanya bantu awal 99 saja, habis bantuan kemanusiaan tidak ada, sekarang ini (rumah) kita bangun sendiri," kata pria yang sekarang bekerja di peternakan ini pada ABC.
Namun, dii Noelbaki, Muhajir mengaku tergolong beruntung, karena di rumah sederhananya ia hanya tinggal dengan keluarganya.
Sementara pengungsi lain terpaksa berbagi rumah dengan satu atau bahkan 6 keluarga lain, padahal ukuran rumah darurat itu tak luas.
Kini, tak ada yang dirindukan Muhajir dari Timor Leste, selain keluarga besarnya.
Muhajir mengaku enggan kembali ke kampung halaman. Ia enggan mengenang mimpi buruk semasa pra-referendum.
"Karena waktu kita masih di sana ya dua kubu, artinya kan kita bergerak kan tidak bisa, bidang pertanian ya tidak bisa."
"Kalau di sini kita petani mau bekerja di pertanian bisa, karena aman untuk kita bekerja," ungkapnya.
Muhajir mengatakan bahwa di Timor Leste, ketakutan mendapat ancaman dari kelompok pro kemerdekaan menghantuinya dan rekan-rekannya.
"Kalau dulu, kita mau bertani jauh darikampung itu kan kita takut, trauma, diteror, diancam sama kelompok-kelompok yang ingin merdeka," katanya.
Ia memilih Indonesia dan ingin menghabiskan sisa hidupnya di negara ini. Namun ada satu ganjalan yang selama 20 tahun ini menghantuinya.
"Status kami tidak jelas, status tanah tidak jelas. Itu yang menjadi persoalan bagi kami yang masih tinggal di pengungsian," kata Muhajir.
Berpuluh-puluh tahun tinggal di wilayah Indonesia, ia berharap cintanya kepada negara ini berbalas dengan status kepemilikan tanah yang jelas.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari