Penulis
Intisari-Online.com - Pernah menjadi bagian wilayah Indonesia, Timor Leste lepas dari Indonesia di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Presiden Habibie menyetujui diselenggarakannya referendum atau pemungutan suara untuk menentukan nasib Timor Leste atau yang saat itu bernama Timor Timur (Timtim).
Referendum Timor Leste akhirnya terjadi pada 30 Agustus 1999, di mana hasilnya menunjukkan mayoritas rakyat Timor Leste menginginkan kemerdekaan dan menolak integrasi dengan Indonesia.
Referendum itu pun menghantarkan Timor Leste menjadi negara yang merdeka hingga saat ini.
Peristiwa referendum Timor Leste juga sempat mendapatkan ketidaksetujuan dari pihak militer Indonesia, akan tetapi Habibie tetap melaksanakan referendum Timor Leste.
Selanjutnya, Indonesia secara resmi mengakui hasil referendum Timor Leste pada 19 Oktober 1999. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat itu memutuskan bahwa Timtim bukan lagi wilayah Indonesia.
Timor Leste secara resmi diakui internasional sebagai negara merdeka pada 20 Mei 2020.
Tapi rupanya sebelum serangkaian peristiwa tersebut, sempat heboh tentang kabar Indonesia siap melepas Timor Timur di masa pemerintahan Soeharto, ketika bahasa tubuh sang Presiden disalahartikan.
Melansir Tribun Jatim, sosok yang salah mengartikan bahasa tubuh Presiden ke-2 Indonesia tersebut adalah Presiden Filipina (1965-1986), Ferdinan Marcos.
Kisah itu seperti yang disampaikan oleh Widodo Sutiyo dalam buku "Pak Harto The Untold Stories", terbitan Gramedia tahun 2012.
Widodo merupakan seorang juru bahasa pada masa Orde Baru.
Dia mengaku begitu hafal bahasa tubuh Soeharto. Menurutnya, ada sebuah kisah menarik terkait hal ini.
Bahkan, Widodo menyebut bahwa peristiwa yang berkaitan dengan bahasa tubuh Presiden Soeharto sempat menjadi sebuah kehebohan.
Baca Juga: Denmark vs Belgia di Euro 2020, Ini Sejarah Pertemuan Keduanya
Itu terjadi setelah Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos.
"Suatu kali terjadi kehebohan seusai Pak Harto mengadakan pembicaraan empat mata di Manado dengan Presiden Marcos dari Filipina," kenang Widodo.
Kala itu, para pejabat Indonesia mendengar berita dari pihak Filipina, bahwa Indonesia hendak "melepaskan" Timor Timur.
Dikatakan, isu tersebut saat itu memang sedang menjadi isu politik terhangat.
Berita dari pihak Filipina pun langsung menciptakan kehebohan di antara pejabat Indonesia yang belum mendengarnya langsung dari Presiden Soeharto.
"Tentu saja pihak Indonesia terkejut. Namun Pak Harto belum sempat mengadakan briefing dengan para pejabat RI, sebagaimana selalu dilakukan setiap selesai pembicaraan antara dua kepala negara," tulis Widodo.
Widodo melanjutkan, saat itu hanya dirinya yang bertugas sebagai penerjemah.
"Tetapi para pejabat tinggi itu pun tahu bahwa mereka tidak akan bisa memperoleh berita apa pun dari saya," ungkap Widodo.
Meski demikian, Mensesneg dan Menteri Luar Negeri saat itu akhirnya bertanya kepada Widodo.
Mereka menanyakan kepada Widodo, apakah Soeharto memang ingin melepaskan Timor Timur?
Mendapatkan pertanyaan itu, Widodo pun menjawabnya.
"Seingat saya, Pak Harto tidak pernah mengatakan seperti itu, apalagi masalah Timtim itu soal prinsip," jawab Widodo.
Lalu bagaimana pihak Filipina menganggap Soeharto sudah siap melepaskan Timor Timur?
Ternyata setelah ditelusuri, ada semacam kesalahpahaman terkait bahasa tubuh Presiden Soeharti ketika melakukan pembicaraan dengan Presiden Marcos.
"Rupanya yang terjadi adalah ketika soal Timtim itu disinggung, sambil mendengarkan Presiden Marcos berbicara, Pak Harto mengangguk-anggukkan kepala yang disalahartikan sebagai semacam tanda setuju.
"Mungkin kesan itulah yang ditangkap Presiden Marcos dan disampaikan kepada para stafnya sehingga menimbulkan salah tafsir tadi," tandas Widodo.
Indonesia dan Portugis Sepakat tentang Referendum Timor Timur
Melansir dari buku Midwifing a New State: The United Nations in East Timor karya Markus Benzing, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timtim. Perjanjian ini dikenal sebagai New York Agreement.
Saat itu, PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.
Referendum akhirnya dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan dengan dua opsi.
Dua opsi itu yaitu menerima otonomi khusus untuk Timtim dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.
Baca Juga: Nikko Jenkins, Pembunuh Bayaran yang Memotong Lidah dan Organ Vitalnya Agar Mirip Dewa Ular
Dikutip dari buku Self Determination in East Timor oleh Ian Martin, hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus.
Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolaknya.
Setelah Indonesia menyetujui hasil Referendum Timor Timur, Xanana Gusmao pun dibebaskan usai tujuh tahun menjadi tahanan politik di Jakarta.
Ia kembali ke Dili sebagai pemimpin dari Conselho Nacional de Resistencia Timorense (CNRT).
Baca Juga: Akhiri Perang Dunia 2, Inilah Isi Perjanjian Postdam yang Dirumuskan Sekutu
(*)