Intisari-online.com - China saat ini menjadi negara yang bebas dari virus corona, hal itu membuatnya diuntungkan dalam banyak hal.
Menurut The Telegraph, pada gelombang pertama Covid-19 telah membuat pukulan telak bagi AS dan Eropa.
Padahal negara tersebut merupakan negara-negara termaju di dunia.
Sementara pada saat yang sama China telah berhasil mengendalikan Covid-19, berkat blokade yang ketat.
Pada April 2020, Direktur Kantor Penelitian Kebijakan Pusat Partai Komunis Tiongkok, Jiang Jinquan dengan yakin mengatakan Beijing telah berhasil mengatasi Covid-19.
Dengan menyebabkan kerusakan ekonomi yang minimal, dan menunjukkan sistem politik Tiongkok yang kuat.
Hal itu ternyata telah memberikan keuntungan besar bagi China di dunia.
Berkat epidemi Covid-19, dan menjadi negara pertama di dunia yang berhasil mengatasi Covid-19 China setidaknya telah melompat 10 tahun dan tidak ada yang menghentikan momentum ini.
Mantan diplomat Singapura Kishore Mahbubani, yang telah lama pro-China, bahkan mengatakan bahwa sistem global akan bergeser ke tatanan "China-sentris".
Sementara Barat harus menerima posisi yang lebih lemah.
Namun, dalam konteks saat ini, keberhasilan China agak terhalang.
Setelah hampir satu tahun berjuang untuk mengatasi pandemi, Barat secara bertahap mendapatkan kembali posisinya.
AS dan Inggris mulai memvaksinasi massal populasi mereka sekitar Desember tahun lalu dan pulih dengan pijakan yang lebih baik daripada China berkat program vaksinasi yang agresif ini.
Vaksin yang diproduksi oleh negara-negara Eropa dan AS dianggap sebagai "keajaiban" untuk membantu seluruh dunia keluar dari pandemi.
Sementara itu, formula anti-epidemi China dengan blokade ekstrem secara bertahap kehilangan efektivitasnya terhadap varian virus SARS-CoV-2 yang baru dan lebih berbahaya.
Beberapa daerah seperti provinsi Guangzhou kembali epidemi dan diblokir lagi.
China, yang dianggap sebagai negara tercepat di dunia untuk membasmi epidemi, membutuhkan waktu hingga pertengahan Mei tahun ini untuk mulai mempercepat vaksinasi bagi manusia.
Mengenai vaksin, China saat ini merupakan salah satu donor dan penyedia bantuan kemanusiaan terbesar di dunia.
Menurut statistik Bridge Consulting (berbasis di Beijing), pada akhir Mei, China telah menjual lebih dari 650 juta dosis dan menyumbangkan lebih dari 17 juta dosis.
Meski jumlahnya cukup mengesankan, apakah kualitas vaksin China terjamin adalah cerita lain.
Efektivitas dua vaksin China yang baru saja dilisensikan WHO untuk mencegah epidemi Sinovac dan Sinopharm, tidak setinggi Pfizer/BioNTech (AS/Jerman) atau AstraZeneca (Inggris).
Beberapa negara seperti Chili dan Hongaria masih mengalami wabah baru yang serius meskipun telah divaksinasi massal dengan vaksin China.
Brasil atau Filipina bahkan menolak mengimpor vaksin tertentu buatan China karena khawatir kualitasnya buruk.
Selain itu, asal muasal wabah Covid-19 masih memusingkan China ketika negara-negara Barat gencar menuntut penyelidikan ulang, meski WHO pada Maret lalu menerbitkan laporan investigasi pertama.
Salah satu teori yang negara-negara ingin WHO selidiki adalah bahwa virus itu bocor dari laboratorium di Institut Virologi Wuhan di provinsi Hubei China, dimana pusat epidemi pertama di dunia.
China menolak teori ini dan mengambil posisi resmi bahwa virus kemungkinan besar muncul di luar dan kemudian menginfeksi China.
Setiap teori atau informasi yang bertentangan dengan posisi ini dianggap oleh China sebagai tindakan untuk "mencoreng" dan "menyebarkan berita palsu" dengan tujuan merugikan China.