Ia mengungkapkan bahwa kejadian serupa sudah beberapa kali terjadi meski tidak dilakukan pengaduan resmi.
"Karena beberapa sudah pernah kita fasilitasi penyelesaian terkait dengan persoalan pinjaman yang terjadi di lingkungan kita," katanya.
"Tapi merebaknya WA yang menyebutkan si A, B, C memiliki pinjaman dan kemudian beberapa orang menceritakan menjadi isu yang harus ditangani bersama, iya (ada). Kalau aduan resmi sampai sekarang tidak ada," ungkap dia.
Sebelumnya, seorang guru honorer di Semarang mengalami hal serupa. Alasannya mengambil pinjaman online juga diakui karena terdesak kesulitan finansial kemudian melihat aplikasi pinjaman online dan mengunduhnya.
Berbeda dengan S, guru honorer bernama Afifah (27) tersebut memilih untuk melaporkan kasus yang menimpanya ke polisi setelah berusaha melunasi utangnya namun masih gagal karena besarnya jumlah yang membengkak.
Mengutip Kompas.com (5/6/2021), dari hasil laporannya, menurut Kuasa hukum Afifah, Muhammad Sofyan dari LBH NU Salatiga, awalnya mereka akan membawa kasus tersebut ke ranah perdata terkait pinjam meminjam, namun setelah melihat cara transaksi yang dilakukan, hal itu sudah tidak memenuhi syarat.
Hal itu karena dalam kasus Afifah, tidak pernah ada tanda tangan surat perjanjian apapun, sementara jika kasus ingin dilanjutkan ke ranah perdata, seharusnya ada perjanjian baik langsung atau elektronik.
Kasus guru honorer tersebut pun sementara dilaporkan terkait pelanggatan UU ITE.
(*)