Penulis
Intisari-Online.com - Satu lagi korban yang mengungkapkan tentang betapa tak masuk akal bunga aplikasi pinjaman online ilegal hingga cara penagihan yang disebut tidak manusiawi.
Seorang pegawai Pemkab Boyolali, Jawa Tengah, berinisial S (43), mengungkapkan pengalaman tak mengenakan karena terlibat dengan pinjaman online.
Bukan hanya utangnya yang membengkak berpuluh-puluh kali lipat hanya dalam beberapa bulan, tapi juga bagaimana teror diterimanya dan orang-orang sekitar.
Melansir Kompas.com, S mengaku sering diteror dengan kata-kata kasar dari platform yang menyediakan pinjol ilegal karena belum bisa membayar pada saat jatuh tempo.
"Cara penagihannya tidak manusiawi karena banyak kata-kata kasar atau pun kata-kata yang tidak enak didengar.
"Dan teman-teman saya yang ada di kontak saya juga ikut ditelepon, kadang juga diteror dengan kata-kata tidak enak," kata S kepada wartawan di Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (16/6/2021).
Teman-teman S bisa mendapatkan teror tersebut karena menurut S, kontak mereka ikut tercantum dalam nomor telepon yang dia gunakan saat meminjam uang di pinjol tersebut.
"Karena di situ ada persetujuan mengambil kontak yang ada di HP," kata dia.
Bagaimana S akhirnya bisa terjerat pinjaman online?
S menceritakan sekitar dua bulan lalu dirinya meminjam uang sebesar Rp 900.000 ke salah satu aplikasi pinjol karena terdesak kebutuhan.
Saat dalam keadaan yang sulit, Pegawai Pemkab Boyolali tersebut melihat iklan di salah sati akun media sosialnya.
Ia pun tergiur dengan iklan tersebut karena dikatakan jangka waktu pengembalian lama dan bunga ringan.
S pun akhirnya menyetujui persyaratan dari pinjaman online ilegal tersebut, yang menjadi awal mula 'malapetaka'.
Rupanya, setelah menyetujui aplikasi pinjol ilegal, S justru mendapati bahwa waktu pengembalian hanya 7 hari dan bunganya tinggi.
Bahkan, selama dua bulan sejak dirinya meminjam uang dari pinjol ilegal itu, tagihannya membengkak hingga Rp 75 juta.
"Ternyata cuma tujuh hari pengembalian dan bunganya tidak seperti yang disebutkan diiklan," ungkap dia.
Mesi begitu merugikannya, namun S mengaku sementara ini tidak ada keinginan untuk melaporkan kasus yang menimpanya ke polisi.
S mengaku memilih menyelesaikan dengan melunasi tagihan dari pinjol ilegal tersebut.
Namun, ia menghimbau orang-orang untuk tidak meminjam uang melalui pinjaman online ilegal seperti yang dilakukannya.
"Mungkin tidak (lapor polisi) karena mungkin lebih menguras tenaga dan pikiran. Intinya malah bagaimana kita bisa menghindari saja," ungkapnya.
"Dalam penyelesaian ini kalau saya pribadi 27 aplikasi. Karena sekali klik bisa disetujui lima aplikasi. Selama dua sampai tiga bulan sekitar Rp 75 juta," sambung dia.
Pasalnya, selain bunganya tidak masuk akal, cara penagihan yang dilakukan tidak secara manusiawi.
"Kalau pinjaman online yang ilegal sangat memberatkan dan menjerat kita. Karena bunga tidak masuk akal dan penagihannnya tidak manusiawi," terang dia.
Sementara itu, Inspektur Inspektorat Boyolali, Insan Adi Asmono mengimbau PNS, ASN atau pegawai di lingkungan Pemkab Boyolali lebih berhati-hati dalam menentukan keputusan terkait dengan pinjaman.
Ia mengungkapkan bahwa kejadian serupa sudah beberapa kali terjadi meski tidak dilakukan pengaduan resmi.
"Karena beberapa sudah pernah kita fasilitasi penyelesaian terkait dengan persoalan pinjaman yang terjadi di lingkungan kita," katanya.
"Tapi merebaknya WA yang menyebutkan si A, B, C memiliki pinjaman dan kemudian beberapa orang menceritakan menjadi isu yang harus ditangani bersama, iya (ada). Kalau aduan resmi sampai sekarang tidak ada," ungkap dia.
Sebelumnya, seorang guru honorer di Semarang mengalami hal serupa. Alasannya mengambil pinjaman online juga diakui karena terdesak kesulitan finansial kemudian melihat aplikasi pinjaman online dan mengunduhnya.
Berbeda dengan S, guru honorer bernama Afifah (27) tersebut memilih untuk melaporkan kasus yang menimpanya ke polisi setelah berusaha melunasi utangnya namun masih gagal karena besarnya jumlah yang membengkak.
Mengutip Kompas.com (5/6/2021), dari hasil laporannya, menurut Kuasa hukum Afifah, Muhammad Sofyan dari LBH NU Salatiga, awalnya mereka akan membawa kasus tersebut ke ranah perdata terkait pinjam meminjam, namun setelah melihat cara transaksi yang dilakukan, hal itu sudah tidak memenuhi syarat.
Hal itu karena dalam kasus Afifah, tidak pernah ada tanda tangan surat perjanjian apapun, sementara jika kasus ingin dilanjutkan ke ranah perdata, seharusnya ada perjanjian baik langsung atau elektronik.
Kasus guru honorer tersebut pun sementara dilaporkan terkait pelanggatan UU ITE.
(*)