Freeport mampu melakukan kegiatan eksplorasi, penambangan, dan produksi di lahan seluas 24.700 hektare atas kesepakatan dengan pemerintah Indonesia.
Operasi penambangan meliputi tambang terbuka, tambang bawah tanah, dan empat konsentrator.
Sejumlah proses digunakan di lokasi, termasuk berbagai tahap pengeboran, peledakan, penyortiran, pengangkutan, dan penghancuran bijih.
PT Freeport Indonesia memulai penambangan terbuka pada tahun 1990, namun mengalihkan operasinya dari penambangan terbuka ke penambangan massal bawah tanah untuk mempertahankan tingkat produksinya yang tinggi.
Perusahaan menangguhkan metode ini pada tahun 1991, tetapi melanjutkannya kembali pada tahun 2000.
Menurut situs Freeport McMoRan, sepertiga dari produksi penambangan bawah tanahnya berasal dari Deep Ore Zone (DOZ), satu deposit di dalam kompleks tambang Grasberg yang lebih besar yang terletak di bagian barat New Guinea.
Tambang block cave Grasberg DOZ adalah salah satu operasi bawah tanah terbesar di dunia.
Saat ini, sekitar 75 persen produksi Freeport bersumber dari tambang terbuka.
Peralatan produksi meliputi bucket 30m3-42m3, armada truk angkut 70t-330t berkekuatan 170 orang, bersama dengan 65 dozer dan grader dengan radar, GPS, dan robotika yang digunakan dalam sistem pemantauan kemiringan tambang yang canggih.
Fasilitas tambang meliputi pembangkit listrik, beberapa pabrik, operasi penghancuran dan penyaringan, konsentrator, pengental, dan stasiun pompa.
Freeport juga telah membangun bandara, pelabuhan, jalan sepanjang 119 km, jalur trem, rumah sakit dan fasilitas kesehatan terkait, dua lokasi kota dengan perumahan, sekolah, dan fasilitas lain yang cukup untuk mendukung lebih dari 17.000 karyawan.
Namun pada tahun 2020, PT Freeport Indonesia (PTFI) mengakui adanya penurunan produksi hasil tambang akibat sudah tidak ada lagi aktivitas penambangan yang dilakukan di tambang terbuka (open pit) Grasberg.
Sehingga mengakibatkan pada penutupan tambang terbuka Grasberg
(*)