Find Us On Social Media :

Kini Jadi Sarang Preman, Siapa Sangka Pelabuhan Tanjung Priok Mungkin akan Tetap Jadi 'Pembantu' Jika Fasilitas yang Jadi Simbol Keserakahan Inggris dan Kecurangan Israel Ini Tak Pernah Ada

By Ade S, Senin, 14 Juni 2021 | 19:24 WIB

Ilustrasi bogkar muat di kawasan JICT Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Polisi menangkap koordinator pungutan liar (pungli) di kawasan JICT, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ini foto tampangnya.

Intisari-Online.com - Polisi benar-benar bergerak cepat usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menelepon Kapolri Jenderal Listyo Sigit tentang praktik pungli dan para preman di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Sebanyak 49 orang, terdiri dari karyawan pelabuhan dan preman berhasil diringkus oleh kepolisian.

Jokowi sendiri menelepon Kapolri usai mendapatkan keluhan dari para sopir kontainer yang resah dengan aksi pungli.

"Kemarin kita ketahui ada kegiatan tatap muka Bapak Presiden dengan sopir truk kontainer di Pelabuhan. Ada keluhan dari sopir kontainer tentang adanya pungli dilakukan oleh karyawan dan preman hingga menghambat perekonomian," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Jumat (11/6/2021), seperti dikutip dari kompas.com.

Baca Juga: Satu Tahun Silam Jadi Bulan-bulanan Warga Tanjung Priok, Menteri Penuh Kontroversi Ini Bisa Jadi Kini Jadi Orang dengan Senyum Paling Lebar Usai Jokowi Telepon Kapolri Gara-gara Preman di Pelabuhan

Namun, siapa sangka, keberadaan Tanjung Priok sebagai sebuah pelabuhan besar, bahkan mungkin terbesar di Indonesia, tidak akan terjadi tanpa adanya sebuah fasilitas pelayaran dunia.

Sebuah fasilitas yang kelak mengubah jalur pelayaran dunia hingga beberapa abad kemudian.

Fasilitas yang juga menjadi penarik magnet perseteruan berbagai negara dengan jumlah korban jiwa tak terhitung yang ditimbulkannya.

Fasilitas apakah yang dimaksud? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.

Baca Juga: Jadi Perhatian Khusus Jokowi, Tanjung Priok Ternyata Nyaris Habisi Karier Pentolan PKI DN Aidit, Hanya Kelihaiannya Sendirilah yang Menyelamatkannya

Tanjung Priok mulai dibangun pada 1877 dan barus selesai pada 1883. Itu pun tidak langsung beroperasi.

Baru pada 1886, atau tiga tahun usai selesai dibangun, Tanjung Priok baru difungsikan sebagai sebuah pelabuhan.

Saat itu Tanjung Priok dibangun di area seluas 20 hektar di permukaan laut dengan panjang dermaga mencapai 1,2 kilometer.

Namun, siapa sangka, pelabuhan baru ini sangat cepat penuh hingga pada akhirnya pada 1910, Tanjung Priok II dibangun dan selesai tujuh tahun kemudian.

Kota pelabuhan ini pun kemudian berkembang pesat hingga munculnya Paket Kebijakan Ekspor 1982 di era Presiden Soeharto.

Sebuah kebijakan yang kelak memaksa Tanjung Priok untuk terus memperluas diri agar bisa menjadi tempat ekspor impor barang dagang internasional.

Baca Juga: Sampai Bikin Jokowi Telepon Langsung Kapolri, Preman Tanjung Priok Ternyata Pernah 'Lahirkan' Atlet Karate yang Kemudian Jadi Aktor Laga Legendaris Indonesia

"Masalahnya, pelabuhan Tanjung Priok berkembang terus sejalan dengan laju perkembangan ekspor Indonesia semenjak Paket Kebijaksanaan Ekspor tahun 1982," kata Dirut Pelabuhan II, Drs A Sabirin, ketika itu.

"Akibatnya, pelabuhan selalu merasa kekurangan lahan untuk menampung kargo barang ekspor-impor yang diproses di sana."

 

Padahal, pada kenyataannya, Tanjung Priok awalnya hanya merupakan pelabuhan pembantu, bukan pelabuhan terbesar di Jakarta, apalagi Indonesia.

Dulu, Pasar Ikan yang justru menjadi jalur utama perdagangan di wilayah yang dulu dikenal sebagai Batavia tersebut.

Namun, seiring semakin bertambahnya volume perdagangan, Pasar Ikan mulai kewalahan menampung segala perdagangan yang berlangsung di kawasannya.

Saat itulah, seperti dilaporkan oleh Kompas pada 11 Maret 1994, pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk menjadikan Tanjung Priok sebagai kota pelabuhan.

Baca Juga: Dibeli Secara Rahasia dari Israel, Jet Tempur A-4 Skyhawk Zaman Pak Harto Ini Justru Hanya Berakhir di Museum Saja, Padahal Sempat Buat Bingung Teknisi TNI AU

Apalagi, pada 1819, sebuah fasilitas jalur perdagangan yang memberi keleluasan perdagangan Asia Timur dan Eropa baru saja dibuka.

Sebuah "fasilitas" yang kelak menjadi rebutan banyak bangsa dan menimbulkan pertumpahan darah.

Saat itu, empat negara sekaligus terlibat dalam konflik untuk menguasai "fasilitas" tersebut.

Inggris, Prancis, Mesir, dan Israel sama-sama bertempur untuk memperbutkan sebuah fasilitas berupa kanal raksasa bernama Terusan Suez.

Baca Juga: Fakta-fakta Kasus Penyelundupan Mobil dan Motor Mewah, Diakui Sebagai Batu Bata Hingga Rugikan Negara Rp647,5 Miliar