Dilarang Selama Pendudukan Indonesia, Tradisi Timor Leste Ini Dihidupkan Kembali setelah Kemerdekaannya, Aturan Indonesia Justru Dianggap Jadi Bencana

Khaerunisa

Penulis

ilustrasi tradisi Timor Leste

Intisari-Online.com - Ada sebuah tradisi Timor Leste yang sempat dilarang selama pendudukan Indonesia, kemudian dihidupkan kembali setelah kemerdekaannya.

Seperti diketahui, Timor Leste berintegrasi dengan Indonesia sekitar 24 tahun lamanya setelah pasukan Indonesia menginvasi wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.

Timor Leste menjadi provinsi ke-27 Indonesia saat itu, provinsi termuda yang tentunya harus mengikuti aturan pemerintah Indonesia.

Rupanya, selama pendudukan Indonesia, tradisi Timor Leste yang dikenal sebagai 'Tara Bandu' dilarang di wilayah tersebut.

Baca Juga: Inilah Fakta Politik Negara Timor Leste, Presidennya Dipilih Secara Langsung oleh Kekuasaan Eksekutif Terbatas

Tara Bandu merupakan sebuah hukum adat yang berlaku bagi berbagai kelompok etnis asli Timor-Leste, yang secara kolektif menyebut diri mereka sebagai Maubere .

Hukum adat tersebut termasuk mengatur bagaimana masyarakat Timor Leste memperlakukan orang-orang yang dianggap merusak alam sekitar, baik disengaja maupun tidak.

Misalnya yang terjadi pada seorang warga bernama Buru-Bara dan keempat rekannya pada Oktober 2012 lalu.

Melansir Mongabay News (26/10/2018), Sepulang memancing, mereka tak sengaja membakar pohon asam setelah lupa mematikan api yang mereka nyalakan di bawah pohon tersebut.

Baca Juga: Budaya Israel yang Menarik dan Unik, Terbuka, Ramah dan Penyayang, Kasar Karena Bahasa Ibrani, Tetapi Orang Israel Bisa Tersinggung Karena Hal Sepele Ini

Dalam tradisi kelompok etnis asli Timor Leste tersebut, pembakaran pohon, meskipun tidak disengaja, akan membuat pelanggarnya harus membayar denda, yang saat itu masing-masing setara dengan $60, kira-kira upah bulanan rata-rata untuk negara tersebut.

Mereka dikenai hukum Tara Bandu karena pohon itu telah dinyatakan keramat, dan dilarang merusaknya di bawah hukum adat tersebut.

Kelima orang itu pun tanpa ragu membayar denda. Buru-Bara mengungkapkan, bahwa melanggar Tara Bandu adalah perbuatan asusila dalam tradisi Maubere.

“Ini sangat tidak menghormati Rai na'in [roh tanah] dan masyarakat, dan seseorang harus memperbaikinya dengan cara apa pun,” katanya.

Baca Juga: Kisah Andrei Sakharov, Fisikawan Pembuat Bom Nuklir yang Berubah Jadi Aktivis HAM Karena Lihat Sendiri Konsekuensi dari Ciptaannya Itu

Tara bandu dapat mencakup beragam batasan, seperti yang ditentukan oleh komunitas tertentu.

Itu bisa melarang akses ke ruang tertentu, memancing di tempat tertentu, menangkap spesies tertentu, menebang pohon tertentu, atau dalam hal ini merusak apa pun yang dinyatakan lulik, yang berarti suci dalam bahasa Tetum dan Kemak.

Sistemnya terlokalisir, sehingga tempat dan objek yang diidentifikasi sebagai lulik dan perlindungan yang diberikan bervariasi dari desa ke desa tergantung pada kebutuhan, preferensi, dan kepercayaan lokal.

“Di desa kami, aturan tara bandu melarang penebangan pohon asam, kayu putih dan cendana, penangkapan dan pembunuhan penyu, dan merusak terumbu karang di perairan Tasi Feto (laut ibu) ,” kata Buru-Bara.

Baca Juga: Takut Kena Amukan Amerika, Ternyata Israel Sembunyi-sembunyi saat Berhubungan dengan China, Bahkan Berani Seludupkan Senjata Militer ke Negeri Panda!

Lain lagi di desa Suco Makili di Pulau Atauro yang memiliki aturan Tara Bandu sendiri.

Di desa itu, mereka memiliki keyakinan bahwa nenek moyang mereka adalah keturunan kura-kura, sehingga binatang tersebut begitu dikeramatkan di daerah tersebut.

“Kami menganggap penyu (sebagai) lulik dan tara bandu kami melarang penangkapan atau pembunuhan penyu,” kata Zanuari Carvalho, seorang nelayan lokal berusia 65 tahun, kepada Mongabay.

Pemimpin lokal akan meletakkan benda khusus yang disebut horok, sering kali berupa tiang bambu yang dibungkus kain tradisional Maubere dan daun kelapa, untuk memberi tahu penduduk setempat dan orang yang lewat bahwa ada larangan Tara Bandu.

Baca Juga: Isi Perjanjian Postdam Disepakati 3 Tokoh Negara Ini, Demi Pastikan Jerman Tak Mampu Lagi Berperang

Sementara itu, seperti yang diterima Buru-Bara, pelanggaran akan dikenakan denda yang ditentukan masyarakat ketika mereka menyatakan Tara Bandu pada upacara khusus.

Tara Bantu telah dihidupkan pada 2002, setelah Timor Leste merdeka.

Tradisi Timor Leste ini dihidupkan kembali dalam upaya mengendalikan eksploitasi sumber daya laut dan daratnya.

Tara Bandu dianggap memiliki efek positif pada hutan bakau, hutan dan terumbu di Biacou.

Baca Juga: Siap Sangka Hal Inilah yang Jadi Penyelamat Timor Leste dari Kebangkrutan Setelah Merdeka dari Indonesia, Meski Harus Rebutan dengan Australia

Banyak orang menganggap bahwa hukum adat tara bandu menawarkan jalan menuju pengembangan model pemanfaatan sumber daya alam yang dipimpin oleh masyarakat yang berkelanjutan.

Meski, tidak semua orang di sana senang dengan hasilnya karena mata pencaharian beberapa orang telah terpengaruh: pemulung karang, pembuat garam, dan nelayan.

Tara Bandu juga tidak dilarang selama pendudukan Portugis, meski Portugis menekankan mereka mengizinkan hukum dan ritual adat selama tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah.

Sementara selama pendudukan Indonesia, tradisi Timor Leste ini dilarang, dan masyarakat Timor Leste menganggap peraturan Indonesia yang menggantikannya justu jadi bencana.

Baca Juga: Walau Dibenci Seisi Bumi, Nyatanya Israel Justru Jadi Harapan Utama Umat Manusia di Dunia, Karena Tahu Cara Menjinakkan Covid-19, Hal Ini Jadi Buktinya

"Mereka mengganti mekanisme tradisional-adat dalam pengaturan sumber daya alam dengan sistem kehutanan nasional Indonesia,” kata Rodrigues,seorang suku Maubere dan pakar perikanan di Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor-Leste (MAF).

Menurut Rodrigues, itu justru terbukti menjadi bencana, karena pejabat kehutanan Indonesia memiliki pemahaman yang buruk tentang ekosistem Timor-Leste.

Disebut dalam banyak hal, pendudukan Indonesia membawa perampasan yang merusak atas hutan negara yang berharga dan sumber daya laut yang sangat kaya.

Selama dekade terakhir pemerintahan Indonesia terjadi deforestasi di bagian barat negara itu sekitar 18 persen, menurut sebuah studi tahun 2004 di jurnal Natural Resources Forum.

Baca Juga: Terkuak Ternyata AS Sudah Siapkan Rencana Besar untuk Hancurkan China dengan Bom Nuklir, dengan Syarat Jika China sampai Berani Lakukan Hal Ini

Otoritas pendudukan Indonesia juga membuka laut untuk eksploitasi komersial skala besar, membawa armada yang menggunakan teknik penangkapan ikan yang merusak, merusak terumbu karang dan ekosistem laut lainnya, dan menangkap ikan secara berlebihan, menurut Rodrigues.

“Orang Indonesia memindahkan dan membakar hutan yang luas di seluruh pulau. Mereka mengebom terumbu karang dan perikanan pesisir,” kata Carvalho.

“Saya masih ingat pemandangan yang sangat mengganggu dari ribuan ikan mati yang terdampar di pantai setelah pengeboman semacam itu," katanya.

Menghidupkan kembali Tara Bandu di komunitas pesisir Maubere seperti Biacou, Manatuto, dan Pulau Atauro telah menjadi bagian upaya memperbaiki kerusakan yang ditinggalkan Indonesia dan sebagai upaya mencari cara memanfaatkan sumber daya laut negara secara berkelanjutan.

Baca Juga: ‘Kami Semua Yahudi di Sini’, Kisah Sersan Kepala dan Anak Buahnya Selamatkan 200 Prajurit Yahudi di Kamp Konsentrasi Saat Perang Dunia 2

(*)

Artikel Terkait