Penulis
Intisari-Online.com - Disepakatinya isi Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 mengakhiri pemberotakan belasan tahun Raden Mas Said atau yang juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Raden Mas Said merupakan putra Pangeran Arya Mangkunegaran dan cucu dari Amangkurat IV.
Dilahirkan pada 25 April 1725 di Keraton Kartosuro. Namun ia harus hidup dalam keprihatinan tak seperti keturunan raja pada umumnya.
Ayahnya terusir dari istana setelah difitnah dan dibuang ke Srilanka oleh Belanda. Sementara ibunya, Raden Ajeng Wulan, meninggal saat ia masih kecil.
Baca Juga: Isi Perjanjian Versailles, Perjanjian Damai Pasca Perang Dunia 1 yang Akhirnya Dikutuk di Jerman
Raden Mas Said kemudian dibesarkan oleh sang nenek Raden Ayu Sumarno
Mengutip Kompas.com, dalam buku Sejarah & Warisan Nilai-Nilai Perjuangan Raden Mas Said,disebutkan Raden Mas Said lebih suka menghabiskan masa kecilnya dengan anak-anak abdi dalem dan kawulo alit.
Pergaulan dengan kalangan tersebut membuatnya mengetahui realita kehidupan masyarakat luar keraton dan kehidupan kawulo alit.
Ia tumbuh menjadi seorang yang tangguh dan kuat hingga pada usia remaja, dimulailah pemberontakan yang dilakukannya terhadap Keraton Surakarta.
Dimulainya Pemberontakan oleh Pangeran Sambernyawa
Raden Mas Said remaja mulai menyadari apa yang terjadi dengan ayahnya. Kesadarannya itu memunculkan keinginan untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang didapatkan keluarganya.
Terlebih dengan sikap Pakubuwono II yang menempatkannya sebagai Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram.
Raden Mas Said kemudian memutuskan keluar dari istana dan melakukan pemberontakan.
Baca Juga: Memahami Pancasila Sebagai Norma Dasar Negara yang Fundamental
Ia pun membuat pasukan bersama temannya, Raden Mas Sutowijoyo dan pamannya Wirodiwongso.
Setelah pasukan terbentuk, pada 1742, bersama Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), ia mencoba melakukan penyerangan ke Keraton Kartosuro hingga membuat tembok benteng keraton jebol.
Itu baru permulaan dari pemberontakan puluhan tahun yang dilancarkannya. Perjuangan Raden Mas Said pun terus berlanjut ke berbagai daerah.
Bahkan, ketika sampai di daerah Sukowati, Adipati Sujonopuro mengusulkan RM Said menjadi raja di Sukowati.
Hal itu pun semakin membuat Raden Mas Said lebih leluasa untuk mengembangkan kekuatan pasukannya.
Aksi pemberontakan Raden Mas Said pun sampai membuat VOC khawatir yang saat itu memiliki pengaruh di Mataram.
Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, sikap Pakubuwono II yang tunduk terhadap VOC dan sewenang-wenang terhadap bangsawan Mataram pulalah yang menjadi salah satu alasan bergeloranya pemberontakan Raden Mas Said.
Pergerakan Raden Mas Said sempat diredam oleh Pangeran Mangkubumi yang memenuhi Sayembara yang diadakan Pakubuwono II.
Namun, pergolakan pun terjadi yang sempat menguntungkan pemberontakan Raden Mas Said ketika Pangeran Mangkubumi merasa terkhianati oleh janji Pakubuwono II.
Janji hadiah tanah seluas 3.000 hektar dari pakubuwono II untuk siapa saja yang berhasil meredam pemberontakan Raden Mas Said tidak ditepati.
Kekecewaan Pangeran Mangkubumi membuatnya berpindah haluan, berbalik melawan pihak kerajaan.
Meski akhirnya perlawanan Pangeran Mangkubumi dihentikan Pakubuwono III dengan Perjanjian Giyanti (Februari 1755) yang memberikannya kekuasaan di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan menjadi Hamengkubuwono I.
Melawan Tiga Kekuatan, Berakhir dengan Perjanjian Salatiga
Sementara Pangeran Mangkubumi mendapat sebagian kekuasaan Mataram, pemberontakan Raden Mas Said masih berlanjut.
Namun, semakin berat karena ia harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu pasukan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I, ditambah kekuatan VOC.
Melawan tiga kekuatan sekaligus tak membuat Raden Mas Said menyerah.
Bahkan, sengitnya perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said itulah yang membuatnya mendapat julukan 'Pangeran Sambernyawa' oleholeh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC.
Pertempuran yang dilakukan Raden Mas Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Perlawanan sengit Raden Mas Said akhirnya berhasil dihentikan dan ia mau melakukan genjatan senjata bersama pasukannya setelah berbagai bujukan.
Tahun 1756, Pasukan Raden Mas Said bersedia kembali masuk Keraton Surakarta.
Baca Juga: Israel dan Hamas Sepakat untuk Melakukan Genjatan Senjata
Kemudian pada 17 Maret 1757, ditandatangani sebuah perjanjian yang memecah kembali Mataram.
Perjanjian antara pihak Pakubuwono III dan Raden Mas Said inilah yang dikenal sebagai Perjanjian Salatiga.
Perjanjian inilah yang menghidupkan Dinasti Mangkunegaran sebagai daerah praja yang boleh mengurusi wilayahnya sendiri.
Adapun isi Perjanjian Salatiga yang yaitu sebagai berikut:
Raden Mas Said diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan sisa wilayah Mataram sebelah timur.
Wilayahnya terdiri dari bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), kemudian seluruh wilayah Kaupaten Karanganyar, Wonogiri, dan sebagian wilayah di Gunung Kidul.
Sementara gelar Raden Mas Said adalah Kanjeng Gusti Adipati Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara 1 dan berhak secara mutlak berhak memimpin Mangkunegaran.
Baca Juga: Ada Udang di Balik Batu, Ini Misi Rahasia Israel Hancurkan Gedung Utama di Gaza
(*)