Sejak 1964 hingga 1967, Lodewijk Mandatjan melakukan berbagai aksi pemberontakan menggunakan senapan-senapan tua peninggalan perang dunia II.
Dalam buku 'Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando' karya Hendro Subroto, terungkap bagaimana Lodewijk Mandatjan mampu membuat pasukan RPKAD (kini Kopassus) kelabakan untuk menghadapinya.
Namun, aksi-aksi Lodewijk Mandatjan beserta pasukannya yang begitu tangguh malah membuat Pangdam XVII/Cenderawasih kala itu, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo mencium hal lain.
Mertua dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut melihat bahwa perjuangan Lodewijk Mandatjan sangatlah tulus.
Lodewijk Mandatjan tidak berambisi untuk membuat Papua terpisah dari Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan oleh Lodewijk Mandatjan semata-mata didorong oleh kerisauannya dengan kondisi ekonomi Irian Barat (nama Papua saat pertama kali bergabung dengan Indonesia) kala itu.
Apalagi, Lodewijk Mandatjan sendiri pada dasarnya mantan prajurit Indonesia yang bertaruh nyawa dalam operasi Trikora.
Insting Sarwo Edhie pun mulai 'mengendus' ketulusan Lodewijk Mandatjan hingga membuatnya berani membuat keputusan sangat berani: mengajak langsung Lodewijk Mandatjan untuk berdamai.