Penulis
Intisari-Online.com -Masih ingat dengan klaim kemerdekaan Papua Barat oleh pemimpin gerakan separatis Benny Wenda pada 1 Desember 2020?
Saat itu, Benny bahkan tidak hanya mendeklarasikan kemerdekaan Papua Barat, tapi juga mengukuhkan dirinya sebagai presiden sementara Papua Barat.
Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua - ULMWP) tersebut mengklaim rakyat Papua Barat "tidak akan lagi tunduk pada aturan militer Jakarta yang ilegal".
Selain itu, Benny juga menyebut dirinya saat itu berhak mewakili rakyat Papua Barat untuk "mulai menerapkan konstitusi dan mengklaim tanah kedaulatan."
Hanya saja, klaim tersebut pada akhirnya bak angin lalu karena Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD Benny Wenda hanya sedang membangun negara ilusi.
Bahkan,sayap militer organisasi Papua merdeka, TPNPB-OPM secara tegas menolak klaim Benny Wenda dengan menyatakan, "TPNPB tidak akui klaim Benny Wenda, karena Benny Wenda lakukan deklarasi dan umumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat bangsa Papua, dan juga di luar dari wilayah hukum revolusi."
Benny Wenda jelas makin merasa dirinya kehilangan dukungan dari berbagai sisi, termasuk dari dua negara yang selama ini diharapkan menjadi bentengnya memisahkan Papua Barat dari Indonesia.
Rentetan kekecewaan tersebut nampaknya mendorong rasa frustasi pada diri Benny Wenda sehingga akhirnya dirinya mulai mengemis dukungan dari negara yang justru jelas-jelas banyak menjebak negara miskin.
Benny Wenda yang kian kehilangan dukungan tersebut kemudian menyebut bahwa perjuangan rakyat Papua sudah berlangsung hampir 60 tahun.
"Rakyat Papua tidak berada di tangan yang aman selama masih dikuasai Indonesia," ujar Benny Wenda kepadaThe Australian.
Bahkan Benny Wenda menyebut bahwa sejak tahun 1960, sudah hampir 500.000 warga Papua yang terbunuh, termasuk wanita dan anak-anak.
"Sejatinya ada genosida yang berjalan lambat di tanah Papua yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia."
Di sisi lain, menurut pria yang lahir di Lembah Baliem tersebut menyebut dua negara yang selama ini diharapkannya, Australia dan Selandia Baru, kian hari kian menolak untuk bertindak atas krisis yang terjadi di Papua.
Hal inilah yang pada akhirnya membuat pria yang lahir tepat saat peringatan kemerdekaan Indonesia ke-29 tersebut mulai berani mengemis dukungan dari negara lain.
Sang pemberontak memilih untuk mulai membuka diri jika sebuah negara yang biasa menjebak negara-negara miskin sudi memberinya dukungan.
Meniadakan risiko bahwa tanah Papua kelak malah berada di bawah kekuasaan ekonomi negara tersebut, Benny berujar "Jika mereka ingin mendukung kami, kamu akan menyambut mereka dengan tangan terbuka."
Bak sudah sangat frustasi, Benny bahkan menyebut dirinya akan menerima dukungan dari negara apapun meski memiki ideologi yang berbeda.
Negara yang dimaksud oleh Benny tidak lain adalah China, sebuah negara yang kini mulai menancapkan pengaruhnya di banyak negara miskin di dunia.
Ya, China saat ini dikenal sebagai negara yang sangat menggembar-gemborkan bantuannya untuk negara-negara miskin, meski di sisi lain mereka pun mulai menancapkan kekuasaannya di negara yang mereka bantu tersebut
Sikap Benny Wenda mulai mengemis bantuan dari China sendiri didorong oleh sikap seorang gubernur di sebuah provinsi di negara tetangganya.
Pada 2020, Perdana Menteri Provinsi Malaita di Kepulauan Solomon menuntut wilayahnya merdeka.
Hal ini dipicu oleh perubahan Kepulauan Solomon yang semula mendukung Taiwan, namun kemudian malah mendukung kampanye Satu China.
Kampanye ini sendiri pada akhirnya secara tidak langsung mengakui bahwa Taiwan adalah bagian dari China.
Nah, mengabaikan bahwa China dianggap sebagai penjajah oleh banyak negara, Benny Wenda memilih untuk merayu China karena sadar bahwa musuh utama AS dalam perang dagang ini sangat bernafsu menguasai negara-negara miskin secara utuh.
Ya, pada akhirnya, Benny Wenda yang menuntut kemerdekaan itu malah mulai mengundangChina untuk 'menjajah' Papua, meski mungkin hanya secara ekonomi.