Pernah Jadi Simbol Kekuasaan Inggris Atas Tanah Afrika, Ternyata Terusan Suez Juga Jadi Saksi Bisu Runtuhnya Kerajaan Inggris, dan Hancurnya Kekuasaan Inggris di Dunia

Afif Khoirul M

Penulis

Ilusrasi Terusan Suez

Intisari-online.com - Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Inggris mendapat kesulitan karena hutang Amerika Serikat.

Hal itu makin diperburuk dengn Krisis Terusan Suez yang sempat dikuasai oleh Inggris, sebagai tanda terakhir kerajaan Inggris.

Tahun 1956 Inggris tetap mengendalikan koloninya, yang membentang dari Karibia di barat, hingga Singapura, Semenanjung Malaya, dan Hong Kong di Timur.

Baca Juga: Setelah Terusan Suez Berhasil Lancar Kembali, Mesir Malah Tagih Ganti Rugi Sampai 14,5 Triliun Rupiah, Kapal Ever Given Terancam Tidak Bisa Tinggalkan Mesir

Sebagian besar tanah Afrika juga berada di bawah kendali Inggris.

Namun, gerakan nasional di mana-mana meletus, akibat pengaruh Uni Soviet, hal itu membuat Inggris secara bertahap kehilangan wilayahnya.

Tahun 1952, Raja Farouk, yang memerintah Mesir terpaksa diasingkan.

Setahun kemudian, sekelompok perwira militer secara resmi mengambil alih pemerintahan.

Baca Juga: Demi Saingi Terusan Suez, Ternyata AS Pernah Hampir Gunakan 520 Bom Nuklir Untuk Hancurkan Daratan di Dekat Israel Ini, Namun Gagal Dilakukan Gara-Gara Hal Ini

Kekuasaan terkonsentrasi di bawah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dia menjadi orang yang mengembalikan kehormatan dan kebebasan di seluruh dunia Arab, dengan Mesir sebagai pusatnya.

Tujuan pertama Nasser adalah mengakhiri kehadiran militer Inggris di Terusan Suez.

Kanal tersebut telah menjadi simbol dominasi kekaisaran Inggris di Afrika sejak tahun 1880-an.

Begitu dia mengambil alih kekuasaan, Nasser mengeluarkan ultimatum untuk memaksa Inggris mundur dari Terusan Suez selama 20 bulan.

Kerajaan Inggris berada dalam krisis, dan tidak ada lagi Winston Churchill, Perdana Menteri terbesar dalam sejarah Inggris, jadimereka harus menerimanya.

Pada Juli 1995, tentara Inggris akhirnya mundur dari Terusan Suez.

Pada 26 Juli 1995, Nasser secara sepihak mengumumkan nasionalisasi perusahaan yang mengoperasikan kanal, menciptakan gempa bumi di Inggris, memulai kampanye militer.

Baca Juga: Setelah 3 Hari Dibebaskan Akibat Terjepit di Terusan Suez, Citra Satelit Pergoki Kapal Kargo MV Ever Given Berada di Tempat Ini, Bukannya Kembali Atau lanjutkan Perjalanan?

Kampanye militer cepat

Inggris dan sekutunya Prancis dan Israel, dengan dalih bahwa Mesir tidak menjaga kanal di bawah kendali internasional, meluncurkan kampanye militer.

Pada tanggal 31 Oktober 1995, pasukan Inggris dan Prancis, dengan ujung tombak pasukan terjun payung, mendarat secara besar-besaran di wilayah kanal.

Bagi Israel, negara Yahudi melihat ini sebagai peluang untuk mendapatkan keuntungan, karena Mesir melarang penggunaan kanal tersebut sejak didirikan pada tahun 1948.

Di darat, tentara Israel menyerbu Gurun Sinai, dua hari sebelum serangan Inggris-Prancis.

Dalam waktu kurang dari 7 hari, seluruh semenanjung Sinai berada di bawah kendali Israel.

Tugas utama koalisi Inggris-Prancis adalah menghancurkan angkatan udara Mesir, menghancurkan ekonomi Mesir dan mendapatkan kembali kendali atas kanal dari Mesir.

Tetapi sebelum kehilangan kendali atas kanal, tentara Mesir menenggelamkan 47 kapal, yang sepenuhnya menyumbat kanal.

Dalam seluruh kampanye 9 hari, Israel memobilisasi 175.000 tentara, Inggris memiliki 45.000 tentara dan Prancis menyumbang 34.000 tentara melawan 300.000 orang Mesir.

Korban koalisi mencapai 650 tentara tewas dan 900 luka-luka.

Mesir kehilangan 3.000 tentara dan 4.000 lainnya terluka, dengan 125 tank dan lebih dari 215 pesawat hancur.

Baca Juga: Meski Dicecar Sana-Sini, Rupanya Rencana China Ini Malah Dipuji Setinggi Langit Karena Bisa Jadi Solusi Jika Terusan Suez Macet, Walaupun China Terkesan Memonopoli Jalur Perdagangan

Uni Soviet tentu saja menanggapi kampanye militer Inggris, Prancis, dan Israel.

Namun Perdana Menteri Inggris saat itu adalah Anthony Eden terkejut melihat perubahan sikap Amerika.

AS telah menjadi sekutu dan kreditor terbesar Inggris sejak Perang Dunia II.

Presiden AS Dwight D Eisenhower mengirim pesan bahwa Inggris harus menghentikan kampanye militer di Mesir.

Jika tidak, pasukan penjaga perdamaian PBB yang dipimpin AS akan turun tangan.

Departemen Keuangan AS juga mengancam akan memangkas semua pinjaman ke Inggris.

Perdana Menteri Inggris Eden juga membuat kesalahan dengan tidak melancarkan serangan paling cepat Juli 1995, setelah Mesir menasionalisasi kanal tersebut.

Eden menunggu sampai Oktober, ketika mayoritas rakyat Inggris telah menerima dan merasa tidak ada alasan untuk berperang.

Baca Juga: 6 Hari Blokir Kanal Paling Sibuk di Dunia, Terbongkar Kerugian dari Tersangkutnya Kapal Ever Green di Terusan Suez, 'Rp14.589 Triliun dan Bisa Lebih!'

Dihadapkan dengan tantangan dari kedua sekutu, negara saingan, komunitas internasional dan opini publik domestik, Eden menerima gencatan senjata pada 6 November 1996.

Pada 19 November, hanya tiga hari sebelum pasukan Inggris terakhir menarik diri dari Terusan Suez, Perdana Menteri Inggris Eden meninggalkan London untuk datang ke Jamaika karena alasan medis.

Pada 9 September 1997, Eden mengundurkan diri, mengakhiri kampanye militer terakhir Inggris sebagai kekaisaran.

Dua puluh lima tahun kemudian, tentara Inggris bertempur hanya di negara asing terbatas, dengan dalih mendukung pemerintah lokal, daripada memaksakan kebijakan dari London.

Dapat dikatakan bahwa peristiwa krisis Terusan Suez tahun 1956 merupakan “setetes air” yang membuat para pemimpin Inggris menerima kenyataan bahwa periode dominasi global dari akhir abad ke-16 telah berlalu.

Artikel Terkait