Penulis
Intisari-Online.com -Salah satu momen terbesar dalam sejarah Kerajaan Mataram, adalah saat kerajaan ini harus terpecah menjadi dua.
Perpecahan tersebut secara resmi berlaku setelah terjadinya PerjanjianGiyanti pada 13 Februari 1755.
Namun, perjanjian yang mengakhiri perang saudara selama 8 tahun tersebut pada akhirnya hanya membuat VOC semakin berkuasa.
Berikut ini kisah lengkapnya.
Berakhirnya kekuasaan Kerajaan Pajang pada perempat akhir abad ke-16 M muncul kakuatan politik baru, yaitu Kerajaan Mataram-Islam
Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan pada abad ke-16 yang kemudian menjadi raja. Pusat Kerajaan Mataram ada di Kotagede, Yogyakarta.
Pada masa kejayaannnya, Kerajaan Mataram Islam pernah menyatukan sebagian besar Pulau Jawa kecuali Kasultanan Banten dan Kasultan Cirebon.
Namun dalam perkembangannya terjadi perpecahan hingga akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan pada 13 Februari 1755, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat lewat perjanjian Giyanti.
Perjanjian Giyanti
Dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004) karya Mark R. Woodward, Perjanjian Giyanti menjadi puncak dari perselisihan di Kerajaan Mataram.
Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh Mangkubumi, Pakubowono III dan VOC.
Perjanjian Giyanti yang berlangsung di Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah menghasilkan keputusan penting berupa pembagian kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Sejak Perjanjian Giyanti tersebut membuat kedudukan kerajaan Mataram berakhir. Kemudian Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono 1 pada 13 Februari 1755.
Sultan Hamengku Buwana I segera memerintahkan untuk mendirikan keraton dengan berbagai macam sarana atau bangunan pendukung, untuk mewadahi aktivitas pemerintahan suatu kerajaan.
Dalam perjanjian tersebut, wilayah Surakarta meliputi sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang). Sementara wilayah Yogyakarta meliputi sebelah barat.
Kendati Perjanjian Giyanti berhasil mengakhiri sekitar 8 tahun perang saudara, nama sama sekali tidak mengubah secara mendasar watak politik Jawa.
Memang baik Pakubuwono III atau Hamengkubuwono I menerima pembagian kerajaan.
Tapi intrik politik, perjanjian-perjanjian perkawinan, dan persaingan budaya menjadi perangkat konflik baru menggantikan peperangan.
Masing-masing tidak yakin mampu melawan persekutuan satu sama lainnya dengan VOC.
Konflik panjang
Perpecahan Kerajaan Mataram sudah berlangsung cukup lama saat Kerajaan Mataram pindah dari Kartasura ke Desa Sala (Solo).
Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning melawan raja dan berhasil menguasai istana pada 30 Juni 1742.
Pada November 1742, PB II dapat pulang ke Kartasura dan menduduki tahta kembali. Namun istana Mataram di Kartasura menjadi rusak berat.
Kemudian PB II memindahkan dan membangun kerato di Desa Sala (Solo). Pada 1749, raja Mataram PB II Wafat dan digantikan anaknya yang bergelar PB II.
Dikutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada masa pemerintahan PB III, Kerajaan Mataram terjadi kehidupan politiknya sering kali juga tidak stabil.
Bahkan terjadi perlawanan hebat dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.
PB II dan Pangeran Mangkubumi adalah saudara, di mana putra dari Amangkurat IV. Sementara Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV.
Adanya perselisihan ini mereka saling memerangi sejak 1746. Perlawanan Mangkubumi berhenti dengan adanya kesepakatan dalam bentuk Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755.
VOC memainkan peranan penting dalam Perjanjian Giyanti yang memecah menjadi dua Kerajaan Mataram.
Dalam Perjanjian Giyanti, VOC mendapatkan keuntungan.
Di mana ada keharusan dari kedua keraton untuk mendapat persetujuan dalam pengangkatan pepatih dalem atau pemegang kendali eksekutif keraton.
Ya, pada akhirnya VOC-lah yang mengendalikan semuanya.
(Ari Welianto)