Penulis
Intisari-online.com -Dunia sedang bersama menghadapi pandemi Covid-19 saat wabah ini menyebar sejak akhir tahun 2019 lalu.
Cara penanganan yang salah satunya dilakukan adalah mencegah ada yang masuk maupun keluar dari suatu negara.
Dalam keadaan mengkhawatirkan seperti ini, sudah banyak negara yang melaporkan kasus harian dari banyaknya warga yang terjangkit Covid-19.
Meski begitu Korea Utara malah melaporkan jika negara mereka dalam keadaan nol kasus Covid-19.
Klaim ini sudah dilaksanakan sejak sebagian besar dunia diserang wabah baru ini.
Hingga pada akhir tahun 2020 lalu, klaim ini masih kuat dipegang negara tersebut, membuat banyak yang mulai mempertanyakannya.
Dikutip dari Kompas.com, Adik Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un, Kim Yo Jong mengecam Seoul karena terus mempertanyakan klaim nol virus corona, lapor Associated Press (AP), Rabu (9/12/2020).
Kim Yo Jong yang sangat berpengaruh setelah kakaknya, mengecam Menteri Luar Negeri Korea Selatan karena mempertanyakan klaim Korea Utara bebas virus corona.
Wanita itu memperingatkan pada Rabu tentang konsekuensi potensial atas komentar Korsel.
Pada akhir pekan kemarin Menlu Korsel Kang Kyung-wha mengatakan bahwa dia sulit mempercayai Korut yang mengeklaim tidak ada wabah virus di negaranya.
Dia juga menambahkan bahwa Korut tidak memberi respons atas tawaran Korsel untuk bekerja sama mengatasi pandemi.
Pernyataan itu dibalas Kim Yo Jong melalui siaran media pemerintah Korut.
“Bisa dilihat dari ungkapan sembrono yang dilontarkannya [Menlu Korsel] tanpa mempertimbangkan konsekuensi bahwa dia terlalu bersemangat untuk mendinginkan hubungan beku antara Korea Utara dan Selatan."
“Niat dia [Menlu Korsel] sebenarnya sangat jelas. Kami tidak akan pernah melupakan kata-katanya dan dia mungkin harus membayar mahal untuk itu,” tandas Kim Yo Jong.
Sikap Kim Yo Jong menunjukkan betapa sensitifnya Korea Utara terhadap apa yang dianggap sebagai upaya eksternal yang menodai citranya sebagai penjaga yang melindungi dari pandemi dan dampak ekonomi.
Meski mengeklaim nol kasus virus corona, media pemerintah Korut berulang kali mengampanyekan anti-epidemi dengan mengabarkan penerapan "darurat maksimum" seperti penutupan perbatasan internasional, memulangkan diplomat dan mengisolasi penduduk dengan gejala yang dicurigai mirip corona.
Meski begitu, penanganan melawan Covid-19 ini rupanya telah menjadi senjata makan tuan bagi negara komunis tersebut.
Dikutip dari Kontan.co.id, Langkah-langkah drastis yang diambil oleh pemerintah Korea Utara untuk menahan virus corona telah memperburuk pelanggaran hak asasi manusia dan kesulitan ekonomi bagi warganya, termasuk laporan kelaparan.
Hal tersebut diungkapkan oleh seorang penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Reuters memberitakan, Korea Utara, yang belum melaporkan kasus Covid-19 yang dikonfirmasi meskipun berbagi perbatasan dengan China, telah memberlakukan penutupan perbatasan, melarang sebagian besar perjalanan internasional dan sangat membatasi pergerakan di dalam negeri dalam setahun terakhir.
"Isolasi lebih lanjut Republik Demokratik Rakyat Korea dengan dunia luar selama pandemi Covid-19 tampaknya memperburuk pelanggaran hak asasi manusia yang sudah mengakar," kata Tomas Ojea Quintana, pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di negara itu, dalam sebuah laporan yang dilihat oleh Reuters pada hari Rabu.
Dia mendesak pihak berwenang Korea Utara untuk memastikan bahwa konsekuensi negatif dari tindakan pencegahan tidak menjadi lebih besar daripada dampak pandemi itu sendiri.
Belum ada jawaban segera atas pertanyaan Reuters untuk misi Korea Utara di PBB, Jenewa.
Pyongyang tidak mengakui mandat penyelidik PBB dan sebelumnya menolak tuduhan PBB atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara.
Menurut Ojea Quintana, dikuranginya aktivitas perdagangan dengan China telah menyebabkan penurunan signifikan dalam aktivitas pasar dan mengurangi pendapatan bagi banyak keluarga yang bergantung pada aktivitas pasar skala kecil.
"Terjadi kekurangan barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan, input pertanian untuk pertanian dan bahan baku untuk pabrik milik negara," katanya.
Permasalahan penutupan perbatasan dengan China sebenarnya sudah menjadi masalah sejak tahun lalu.
Perekonomian yang sudah rapuh semakin hancur, dan kini negara itu mengakui negara mereka mengalami "berbagai krisis" karena pandemi, bencana alam, dan sanksi pimpinan AS yang terus-menerus dijatuhkan kepada Korea Utara atas program nuklirnya.
Dia juga menyuarakan keprihatinan bahwa topan dan banjir tahun lalu dapat menyebabkan krisis pangan yang serius.
"Kematian karena kelaparan telah dilaporkan, begitu juga dengan peningkatan jumlah anak-anak dan orang tua yang terpaksa mengemis karena keluarga tidak mampu mendukung mereka," tambahnya seperti yang dilansir Reuters.
Operasi kemanusiaan hampir terhenti dan hanya tiga pekerja bantuan internasional yang tetap berada di Korea Utara. Sementara itu, barang bantuan telah tertahan di perbatasan China selama berbulan-bulan karena pembatasan impor, katanya.
Angka alokasi dari aliansi vaksin GAVI dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan pada hari Selasa (2/3/3021), Korea Utara akan menerima 1,7 juta dosis vaksin AstraZeneca melalui fasilitas COVAX pada akhir Mei.
Ojea Quintana mendesak Pyongyang memberikan akses penuh bagi pekerja medis dan bantuan yang terlibat dalam vaksinasi Covid-19.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini