Find Us On Social Media :

Bukan Amerika, Ternyata Justru Rusia Adalah Negara Terakhir yang Akan Dihancurkan China, Sengketa Zaman Kuno Ini Konon Jadi Pemicunya

By Afif Khoirul M, Selasa, 2 Februari 2021 | 14:43 WIB

Foto: Pasukan militer China (PLA) telah meningkatkan kesiapan tempurnya sejak 2012 sejak Xi Jinping menjabat tahun 2012.

Intisari-online.com - Saat ini gejolak kekuatan besar dunia tentu tertuju pada Amerika dan China.

Pasalnya dua kekuatan besar ini telah memiliki hubungan yang buruk sejak lama dan meningkat pada era Donald Trump.

Hal itu membuat beberapa negara menentukan sikap untuk berada di kubu mana, seperti misal Rusia yang bergabung dengan China.

Mungkin saat ini Rusia adalah teman terbaik China, sebagai sekutu untuk melawan Amerika.

Baca Juga: Pantas China Berani Obok-obok Ekonomi Dunia, Ternyata 68 Negara Sudah Jatuh Dalam Cengkeraman Negeri Panda, Utang Mereka Jadi Berlipat Ganda!

Namun, bukan berarti China dan Rusia tidak akan menjadi musuh pada kemudian hari.

Karena menurut sebuah catatan lama yang diterbitkan oleh WioNews mengatakan ada dendam lama yang belum terbayar oleh Rusia.

Berdasarkan catatan sejarah itu, Rusia adalah negara terakhir yang akan menjadi musuh China.

Hal itu disebabkan oleh sengketa tanah sejak zaman kuno yang kini sedang dirangkai kembali oleh China, seperti unifikasi Taiwan, klaim laut China Selatan, kepulauan Spratly, dan kepulauan Diaoyu/Senkaku.

Baca Juga: Keterlibatan China Terkuak, Begini Cara Tiongkok Terlibat Dalam Kudeta Militer Myanmar, dan Biden Bisa Kalah dan Mengakui Kebangkitan China Lewat Strategi Licik China Ini

Sementara itu, salah satu kepingan yang hilang dari wilayah kuno China adalah di wilayah Rusia.

Wilayah itu adalah kota Vladivostok, kota Rusia yang sebelumnya adalah wilayah China milik Dinasti Qing.

Rusia mengambil kendali wilayah itu sejak kekalahan kedua China dalam perang.

China menyerahkan wilayah itu ke Rusia di bawah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1860.

Sejak itu, Vladivostok secara sah menjadi milik Rusia, tetapi China menolaknya karena perjanjian itu tidak sesuai.

Saat ini, China sudah melakukan kampanye propaganda untuk merebut wilayah Vladivostok.

Awalnya Rusia telah memiliki Vladivostok selama 160 tahun, sampai kemudian ada postingan video di media sosial oleh kedutaan Rusia di China.

Video itu berisi tentang Vladivostok di situs micro-blogging China Weibo.

Awalnya video tersebut dimaksudkan untuk merayakan ulang tahun ke 160 berdirinya Vladivostok.

Baca Juga: Dikenal Bersahabat Dekat Dengan Myanmar, Apa yang Akan Dilakukan China Melihat Myanmar Dikudeta, Berpihak ke Pemerintah Atau Militernya?

Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah reaksi dari China. Prajurit penghasut Tiongkok di seluruh dunia memposting pesan.

Memutar balikkan fakta dan seolah wilayah itu masih menjadi milik China, yang diambil secara ilegal oleh Rusia.

Shen Shiwei, seorang jurnalis di CGTN berkata, "Tweet kedutaan Rusia untuk Cina ini tidak disambut baik di Weibo."

"Sejarah Vladivostok jauh dari tahun 1860 ketika Rusia membangun pelabuhan militer. Kota itu Hai Shen Wai sebagai tanah Tiongkok sebelum Rusia mencaploknya," katanya.

Pernyataan ini digaungkan oleh beberapa diplomat China, yang jelas-jelas melupakan perampasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah mereka sendiri. 

Lalu, Shen Shiwei memposting lagi tetapi kali ini, membidik media India.

"Harap profesional Tidak ada perubahan !! Beberapa media India !! Perayaan kedutaan Rusia di Vladivostok mengingat kenangan pahit dari hari-hari terhina di tahun 1860 bagi orang China. Tidak ada yang terkait dengan klaim tanah sejak itu," katanya.

Padahal di saat yang sama China, juga melakukan perampasan tanah di banyak negara. China mendorong perbatasannya, dan mencuri tanah di setidaknya 21 negara.

Di Filipina, Cina mengklaim bagian dari pulau-pulau Spratly. Tidak peduli meski Mahkamah Internasional telah menolaknya. Tapi China dikenal tidak mematuhi perintah.

Baca Juga: Main Aman dan Tak Mau Ikut Campur Urusan Konflik Laut China Selatan, Ternyata Indonesia Disebut Bisa Jadi Penengah antara Amerika dan China, Ini Alasannya

Di Indonesia, Tiongkok mengklaim hak penangkapan ikan di perairan dekat pulau-pulau Indonesia, Natuna.

China juga terlibat dalam perselisihan dengan Malaysia.

Di Laos, Cina mengklaim wilayah Laos yang luas berdasarkan preseden sejarah.

Di Kamboja, Cina kembali mengklaim bagian-bagiannya berdasarkan preseden sejarah.

Di Thailand, Tiongkok telah melakukan pengerukan di sungai Mekong sejak 2001.

Vietnam telah berdiri tegak melawan klaim teritorial China di beberapa pulau.

Di laut Cina Timur, Beijing terlibat dalam sengketa tanah dengan Jepang. Pulau Senkaku dan Ryu Kya adalah titik nyala terbesar.

Di Korea Utara, Cina memiliki perselisihan berkelanjutan atas Gunung Pek-tu dan sungai Tuman.

Di Korea Selatan, Cina mengklaim pulau-pulau di zona ekonomi eksklusif negara itu. Dan ini pada hari-hari baik. Pada hari-hari buruk, China mengklaim seluruh Korea Selatan atas dasar sejarah.

Baca Juga: Inilah 'Harga Mahal' yang Harus Ditanggung China Untuk Kuasai Laut China Selatan, Pasukan Militernya Mengalami Kondisi Ini Setelah Dikirim ke Laut China Selatan

Cina juga memiliki perselisihan yang sedang berlangsung dengan Tajikistan yang dimulai pada tahun 1884. Cina juga mengklaim lebih dari 34.000 km persegi tanah di Kazakhstan.

Di Kyrgyzstan, China mengatakan seluruh wilayah harus menjadi bagian dari daratan China. Pada 1999, ia memaksa Kirgizstan menyerahkan 1.250 km persegi tanah.

Ini membawa kita ke Rusia. China mengklaim setidaknya 160.000 km persegi tanahnya meskipun telah menandatangani beberapa perjanjian.

Ini baru 13 sengketa jumlahnya, masih ada tujuh lagi, India, Nepal, Bhutan, Taiwan, Brunei, Mongolia, dan Singapura.

Sementara dalam catatan tahun 2013, yang mengulas soal rencana 50 tahun China untuk melakukan 6 peperangan, disebutkan bahwa terakhir adalah Rusia.

Tahun 2050, China akan mengambil kembali tanah yang hilang di daratan Rusia, yang diyakini seluas seperenam daratan China yang merupakan bagian dari Dinasti Qing.