Penulis
Intisari-Online.com – Ketika Perang Dunia II berakhir, lebih dari 12.000 tawanan perang Amerika tersebar di kamp-kamp di seluruh Pasifik dalam keadaan putus asa.
Dari 30 Agustus hingga 20 September 1945, dalam Operasi Swift Mercy, B-17 dan B-29 menerbangkan 1.000 misi dan menjatuhkan 4.500 ton pasokan ke pasukan Amerika yang tidak lagi menjadi tahanan, tetapi masih terjebak dalam kamp tawanan.
Kemenangan Perang Pasifik juga menjadi kemenangan bagi mereka yang ditahan oleh Jepang sebagai tawanan perang.
Lebih dari 27.465 orang Amerika yang ditangkap di Pasifik berada di luar perlindungan Konvensi Jenewa sehubungan dengan tawanan perang.
Tingkat kematian di antara tawanan perang di Pasifik lebih dari 40 persen, sekitar 11.107 tidak akan kembali ke rumah.
Sebagian besar dari mereka mati karena kelaparan, terserang penyakit tropis, atau terbunuh saat diangkut dalam gudang kapal tak bertanda yang disebut "kapal neraka".
Pada akhir perang, tawanan perang Amerika yang masih hidup tersebar di kamp-kamp di seluruh wilayah Pasifik, hampir tidak bertahan hidup dan berpegang teguh pada harapan untuk bertahan hidup setelah rata-rata lama penahanan tiga tahun.
Mereka mengalami kondisi yang menyedihkan, seringkali perlakuan brutal, dan dipaksa bekerja berjam-jam dengan makanan yang sangat sedikit.
Karena mereka dipindahkan ke seluruh wilayah yang dikuasai Jepang ke mana pun pekerja dibutuhkan, lokasi mereka sering kali sangat terpencil.
Beberapa tawanan perang bekerja di dermaga dan fasilitas industri di daerah perkotaan, sementara banyak lainnya bekerja di segala jenis tambang, beberapa di lokasi bawah tanah atau terpencil.
Ada sekitar 775 kamp yang menampung tawanan perang Sekutu, dengan 185 berada di Jepang dan sisanya tersebar di seluruh Asia.
Menghitung dan memulihkan semua tawanan perang Amerika yang masih hidup adalah adalah usaha yang harus dilakukan secepat mungkin.
Tetapi beberapa menunggu hampir sebulan penuh setelah penyerahan resmi dari Jepang.
Tawanan perang yang berada di wilayah Tokyo pulih relatif cepat dan dibawa ke kapal rumah sakit dan kemudian dievakuasi pada minggu-minggu pertama setelah penyerahan diri.
Meskipun pengintaian udara dan intelijen telah menemukan lokasi beberapa kamp, fasilitas kerja paksa lainnya, namun detilnya masih belum diketahui oleh pejabat Sekutu di akhir perang.
Upaya ini dipercepat segera setelah penyerahan resmi dari Jepang.
Jenderal MacArthur memerintahkan agar pejabat Jepang bertanggung jawab atas semua tawanan perang di tangan mereka.
Dan mereka menandai setiap kamp dengan mengecat ‘PW’ di atas atas tempat para tawanan perang ditahan.
Berbeda dengan pembebasan kamp tawanan perang di Eropa, di mana tentara yang membebaskan bergerak melalui daerah tertentu dan menguasai musuh dan kamp mereka, maka membebaskan tawanan perang di Pasifik dimulai dari udara.
Bukan dengan tank untuk menghancurkan kamp, tapi pesawat Sekutu menjatuhkan selebaran dari atas dengan berita bahwa perang telah berakhir.
Kampanye udara Sekutu ini juga memberi tahu para tawanan agar tetap di tempat dan bantuan akan segera diberikan.
Setelah bertahun-tahun diperlakukan tidak manusiawi dan brutal, berita kemenangan ini tentunya menjadi pembicaraan lain.
Seorang tawanan perang di kamp Hitachi mengatakan, “Hari ini ketika melihat pesawat tebang rendah dan pilot melambai, benjolan besar rasanya meluncur di tenggorokan saya. Sulit untuk menyadari bahwa tiga tahun delapan bulan penderitaan, kekurangan, penyakit, kelaparan, dan kematian berlalu dan meninggalkan saya di sini.”
Mantan Sersan Staf yang menjadi tawanan perang, Lester Tenney menggambarkan momen ini di kampnya yang berjarak 30 mil dari Nagasaki sebagai "kegembiraan."
Prajurit USMC Lionel Bertheaud menyimpan selebaran yang dijatuhkan di kampnya pada 28 Agustus 1945 oleh sebuah B-17.
Bertheaud telah menjadi tahanan selama 44 bulan, sejak jatuhnya Corregidor pada Mei 1942.
Saat dipenjara, dia telah kehilangan setengah dari berat tubuhnya dan ketika dibebaskan beratnya hanya 36,3 kg.
Setelah selebaran, datang perbekalan banyak sekali, melansir dari nationalww2museum.
Louis Zamperini melaporkan tentang pengalamannya di Naoetsu dan dalam buku tentang hidupnya, Unbroken, penulis Laura Hillenbrand menulis tentang pemboman perbekalan.
Pertama, saat para pejuang terbang dan menjatuhkan tas perbekalan, “Tawanan perang saling berlarian. Seorang pria, melompat dari pagar untuk menghindari bentrokan, namun pergelangan kakinya patah.
Satu tas luput dari kemah, tercebur ke sungai. Tawanan perang memberanikan diri keluar, merobek tas, dan membagi jarahan. Setiap orang menerima setengah kaleng jeruk keprok, satu bungkus minuman keras, dua batang rokok, dan sedikit permen.”
Tiga hari kemudian, kekuatan penuh pasokan tiba ketika B-29 terbang, teluk itu dibom, tapi bukannya pembakar seperti yang jatuh beberapa hari sebelumnya di kota Jepang.
Ya, mereka menjatuhkan tabung perbekalan. Peti-peti rusak terbuka saat jatuh dan makanan menghujani langit.
Hillebrand menulis, “Louis dan Tinker hampir saja kejatuhan drum raksasa berisi sepatu yang tidak pernah mereka lihat.
Barang lain juga meluncur melalui atap toilet, mendarat di atas seorang Australia yang malang, yang kakinya patah, dan seorang dari Idaho, yang tengkoraknya retak, untungnya tidak fatal.”.
Kolonel Charles Frank, juga menggambarkan di Kamp Jinsen awal September 1945, “Kapten Orson mengalami patah kaki saat kejatuhan drum 50 galon yang berisi persediaan, setelah parasut perbekalan mereka lepas.”
Insiden dan cedera seperti ini akhirnya membuat para tawanan itu membuat label pada zona penjatuhan barang, dengan mengecat target ‘Jatuh di Sini’, pada tanah seperti yang mereka lakukan di Naoetsu.
Mereka yang telah kelaparan selama bertahun-tahun itu memakan bantuan yang telah lama ditunggu-tunggu.
Setiap bagiannya digunakan, dikonsumsi, diperdagangkan, atau didaur ulang.
Bahkan parasut mereka ambil dan dibuat menjadi selimut yang nyaman atau menjadi bendera Sekutu yang dijahit di kamp.
Sersan USMS Rufus Baker Austin, yang ditangkap di Pulau Wake, menulis surat ke rumahnya pada tanggal 11 September 1945, “Pesawat kami menurunkan perbekalan untuk kami sekarang. Kalaupun kami tinggal di sini lebih lama, kami tidak akan terlihat seperti tahanan perang. Bu, senang menjadi orang Amerika.”
Sersan Staf Frederick Spacal menulis surat kepada mantan rekan awaknya setelah pembebasan di kamp Omori, “Pesawat Angkatan Laut kami mulai datang dari kamp kami pada 26 Agustus dan B-29 pada 27 Agustus, menjatuhkan semua jenis persediaan, beberapa hari terakhir seperti Natal. ”
Evakuasi kamp-kamp tepi laut oleh Angkatan Laut AS dimulai pada 29 Agustus, dengan penyelamatan berlanjut hingga September ketika kamp-kamp di Singapura, Kalimantan, Manchuria, dan daerah jauh lainnya akhirnya menerima bantuan.
Baca Juga: Di Tempat Tawanan, Barang Rongsokan Bisa Menjadi Alat yang Canggih
Bulan-bulan dan tahun-tahun pertama kebebasan dihabiskan dengan makan, mengarahkan, dan mengkalibrasi ulang.
Beberapa pulih dan membangun kembali kehidupan mereka, tetapi tahun-tahun kebrutalan dan perampasan masih membekas pada mereka yang bertahan sebagai tawanan perang di Pasifik.
Operasi Swift Mercy tentu saja menyelamatkan nyawa.
1.000 misi yang diterbangkan, yang menyumbang 4.500 ton makanan, pakaian, dan persediaan medis, namun juga merenggut nyawa 77 penerbang yang hilang selama operasi.
Baca Juga: Kisah Seorang Tentara yang Berhasil Tumbangkan Pesawat Tempur Jepang Hanya Dengan Pistol Kecil
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari