Reaksinya dapat menimbulkan ancaman eksistensial terhadap hak-hak orang di seluruh dunia.
Dalam laporannya, Human Rights Watch mengatakan China melakukan penindasan dengan kedok "anti-separatisme" atau "kontra-terorisme" tetap sangat parah di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (Xinjiang) dan daerah berpenduduk Tibet (Tibet).
Pihak berwenang menundukkan Uighur, Kazakh, dan kelompok etnis Muslim lainnya di Xinjiang untuk pengawasan yang mengganggu, penahanan sewenang-wenang, dan indoktrinasi paksa.
Pemerintah terus mengintimidasi, melecehkan, dan menuntut para pembela hak asasi manusia dan LSM independen, termasuk penggerebekan di rumah dan kantor mereka.
Anggota keluarga pembela hak asasi manusia menjadi sasaran pengawasan polisi, pelecehan, penahanan dan pembatasan kebebasan bergerak mereka.
Presiden terpilih AS, Joe Biden pada hari Senin mengecam China sekali lagi karena "pelanggaran" pada perdagangan, teknologi dan hak asasi manusia.
Oposisi pro-demokrasi di Dewan Legislatif Hong Kong mengundurkan diri secara massal, sebuah unjuk rasa solidaritas yang kuat terhadap intervensi terbaru Beijing di wilayah tersebut.