Penulis
Intisari-Online.com - Ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat ditandai oleh keluarnya AS dari Kesepakatan Nuklir 2015 di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump 2018 lalu.
Kemudian di tahun 2020, hubungan kedua negara kian memanas oleh berbagai peristiwa yang terjadi.
Pada awal tahun itu, Iran dibuat marah dengan pembunuhan jenderal topnya, Qassem Soleimani melalui serangan pesawat tak berawak AS.
Peristiwa menghebohkan tersebut tepatnya terjadi pada 3 Januari 2020.
Oleh karena itu, kini pergantian tahun mungkin akan membuka luka lama Iran.
Menjelang peringatan satu tahun kematian Qassem Soleimani, dikhawatirkan pertempuran bakal pecah di antara keduanya.
Terlebih, di akhir tahun 2020, Iran juga kembali kehilangan tokoh pentingnya, yaitu seorang ilmuwan nuklir bernama Mohsen Fakhrizadeh, di mana Israel -sekutu dekat AS- dituduh bertanggngjawab atas insiden tersebut. Menambah daftar balas dendam Iran.
Menangkap akan kemungkinan serangan balas dendam Iran bertepatan peringatan kematian jenderal topnya, AS melakukan berbagai persiapan yang diakui untuk pencegahan, termasuk mengirim pesawat tempurnya ke Timur Tengah. Bagaimana dengan Iran?
Dua pembom B-52 terbang di atas Teluk Persia pada hari Rabu untuk menunjukkan kemungkinan militer diarahkan ke Iran, menurut laporannypost.com (31/12/2020).
Kedua pembom jarak jauh Angkatan Udara dalam misi perjalanan pulang-pergi 30 jam ke Timur Tengah lepas landas dari pangkalan udara di Minot, North Dakota, pada hari Selasa dan diisi bahan bakar dalam penerbangan.
Misi itu merupakan yang kedua bulan ini di Teluk Persia, menyoroti meningkatnya kekhawatiran Washington tentang kemungkinan pembalasan Iran terhadap AS atau fasilitas sekutunya ketika Presiden terpilih Joe Biden bersiap untuk memasuki Gedung Putih pada 20 Januari.
“Amerika Serikat terus mengerahkan kemampuan siap tempur ke dalam area tanggung jawab Komando Pusat AS untuk mencegah musuh potensial, dan menjelaskan bahwa kami siap dan mampu menanggapi setiap agresi yang ditujukan pada Amerika atau kepentingan kami,” kata Jenderal FrankMcKenzie, kepala Komando Pusat.
Ia juga mengungkapkan bahwa AS tidak menginginkan adanya konflik.
"Kami tidak mencari konflik, tetapi tidak ada yang boleh meremehkankemampuan kami untuk mempertahankan pasukan kami atau bertindaktegas dalam menanggapi serangan apa pun," katanya.
McKenzie mengatakan pekan lalu bahwa Iran menimbulkan "risiko tinggi"bagi AS atas pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani.
Meski begitu, keyakinan berbeda diungkapkan pihak Iran.
Melansir 24h.com.vn (1/1/2021), Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif pada 31 Desember menuduh pemerintahan Presiden AS Donald Trump "mencari alasan untuk memulai perang".
Itu diungkapkan menanggapi aksi AS mengirim kapal induk USS Nimitz, kapal selam USS Georgia, dan pembom B-52 ke daerah tersebut.
"Alih-alih mencoba memerangi epidemi Covid-19, Trump menghabiskan uang untuk membawa pesawat pengebom B-52 dan peralatan militer ke wilayah kami," kata Zarif.
"Intelijen dari Irak menunjukkan bahwa AS sedang mencari alasan untuk memulai perang," katanya.
Sementara itu, Dehghan, mantan menteri pertahanan Iran, memperingatkan: "Semua pangkalan militer mereka di daerah itu ditutupi oleh rudal kita.
"Saya menyarankan orang-orang untuk diusir dari Gedung Putih (Tuan Trump) ) seharusnya tidak mengubah tahun baru menjadi tahun berkabung bagi orang Amerika," imbuhnya.
Dalam pembunuhan Qassem Soleimani, Presiden AS Donald Trump yang memerintahkannya.
Disebut bahwa hal itu dilakukan setelah ia menerima informasi intelijen tentang penampilan mayor jenderal Iran di bandara internasional di Baghdad, Irak.
Beberapa hari setelah kematian Qassem Soleimani, Iran meluncurkan serangkaian rudal balistik ke pangkalan AS di Irak. Trump memutuskan untuk tidak menanggapi tindakan Iran ini.
Baru-baru ini, Trump memperingatkan Iran "harus bertanggung jawab" jika mengancam kehidupan warga Amerika, setelah serangan roket ke kedutaan AS di Irak.
Para jenderal AS tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa Trump memerintahkan serangan militer Iran, tetapi serangan itu harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk menghindari meningkatnya perang.
Pada saat itu, Menteri Luar Negeri Iran berasumsi bahwa Trump "terlalu berani" di hari-hari terakhirnya dan bahwa ini tidak dapat mengalihkan fokus dari "kegagalan AS", mengacu pada anti-kampanye Covid-19 milik Tuan Trump.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari