Permusuhan ini sangat disayangkan, meskipun cukup dapat dimengerti.
Berakar di naratif China mengenai "Satu Abad dipermalukan" di tangan Barat, dan diperkeras oleh runtuhnya Uni Soviet dan retorika Sino-fobia yang telah merebak sejak Covid-19, pemimpin Partai Komunis menganggap semua kritik dari dalam dan luar rezim sebagai bentuk neo-kolonialisme dan upaya imperialis untuk mengecilkan pemerintahannya.
Menurut pada permintaan luar negeri dilihat sebagai anggota partai sebagai tanda kapitulasi dan kelemahan yang akan mengerdilkan legitimasi politik lokal, dan kemampuan untuk memegang kebijakan internasional mereka.
Namun konfrontasi langsung dengan raksasa militer dunia, dan juga mitra ekonomi China paling penting mungkin menjadi hal terburuk tidak hanya untuk Partai Komunis China, tapi bagi negara itu sendiri.
Dalam opini terbaru yang dibuat oleh mantan Menteri Luar Negeri Fu Ying yang dipublikasikan oleh New York Times bulan lalu menjelaskan jika birokrat di Beijing sangat sadar kebutuhan untuk "persaingan kooperatif".
Serta, persaingan dua negara memerlukan manajemen rapi dan kerjasama taktis mengenai isu-isu kritis.
Perang, dengan kata lain, bukanlah jawaban untuk China.
Ada satu cara keluar untuk China, yang bisa membuat mereka berevolusi menjadi raksasa ekonomi dunia selanjutnya tanpa harus menghancurkan politik mereka sendiri.