Penulis
Intisari-online.com -Sudah kenalkah Anda dengan fintech?
Dewasa ini, hampir tidak ada urusan apapun yang bisa dipisahkan dengan fintech.
Contoh gampang dari fintech yang sudah ada di tangan Anda semua sehari-hari adalah OVO, Gopay, Kredivo, DANA, ShopeePay dan masih banyak lagi.
Kabarnya, Fintech, yang telah berkembang sejak tahun 2008 tapi dicetuskan pertama kali di New York tahun 1972 itu akan tumbuh setiap tahunnya.
Baca Juga: Inilah 7 Ciri Khusus Fintech Pinjol Ilegal, Waspada Agar Tak Tertipu Lagi
Disebutkan dalam artikel di Market Data Forecast, sebuah jurnal yang menggambarkan perkembangan pasar dan ekonomi di dunia, di tahun 2020 sampai 2025 ini nanti nilai pasar dari Pasar Fintech bisa mencapai 305 miliar Dolar AS di tahun 2025.
Pertumbuhan per tahun bisa mencapai setingkat 22.17% dalam kurun waktu 5 tahun saja.
Namun banyak ahli menyebutkan perkembangan fintech tidak dapat dipisahkan dari analisis geopolitik dan keamanan internasional.
Kedua aspek tersebut menjadi penyebab dan akibat dari perubahan drastis ini.
Baca Juga: Investasi dan Fintech Ilegal Rugikan Masyarakat Indonesia Rp 92 Triliun, Begini Modus Jahatnya
Fintech memang jauh lebih berkembang di negara-negara menengah ke atas seperti di India dan Indonesia.
Tanah air sendiri dikabarkan akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di tahun 2050.
Tujuan itu sedang diupayakan oleh Presiden Joko Widodo, memerlukan Indonesia meningkatkan potensi teknologi baru yang mampu memfasilitasi akses jasa finansial di segala segmen masyarakat.
Itulah sebabnya perusahaan rintisan seperti OVO, Gopay, Amartha, Kredivo mulai berkembang pesat di Indonesia.
Baca Juga: Bitcoin Naik 160 Persen Tahun Ini, Meski Investor Tak Paham Apa Yang Terjadi
Masyarakat mendapat keuntungan berbagai jenis jasa, dari pembayaran sampai peminjaman, serta perencanaan finansial.
Tidak dapat ditampik, ekosistem fintech semakin tumbuh di Indonesia, seiring dengan semakin merebaknya ponsel pintar dan Internet.
Pertumbuhan ini juga didukung masuknya investor asing seperti dari China yang mulai lebih memilih menanam investasinya daripada di India, karena ekosistem Indonesia terbilang lebih ramah.
Namun teknologi baru ini juga memiliki dampak dan kekhawatiran yang tidak bisa dikesampingkan.
Diwartakan dari The Diplomat, ada kekhawatiran jika fintech memiliki kaitan dengan jaringan teroris tertentu, menggunakan teknologi baru untuk memperluas kekuatan dan sumber mereka.
Tahun 2017, Bahrun Naim, milisi Indonesia yang berperang bersama para pemberontak ISIS di Timur Tengah, mengirim uang ke Indonesia untuk mendanai jaringan teroris di Jawa menggunakan PayPal dan Bitcoin.
Hal tersebut bahkan sudah terkonfirmasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Indonesia (PPATK).
Hal itu menunjukkan, kelompok teroris menemukan cara alternatif mendanai kegiatan mereka dan 'cari aman' dengan menghindari hukuman.
Sebuah penelitian yang dilakukan Parlemen Eropa untuk Departemen Kebijakan untuk Hak Warga dan Hubungan Konstitusional merincikan risiko pendanaan teroris yang berhubungan dengan pengenalan mata uang virtual.
Hasil penelitian itu menunjukkan, dari pendanaan tradisional saja masih bisa menimbulkan kekhawatiran, sedangkan mata uang virtual memberi kesempatan para 'pejuang soliter' untuk memiliki pasukannya sendiri dan bahkan membentuk jaringan teroris baru, lebih-lebih untuk anak muda yang sudah melek internet dan teknologi digital.
Contoh paling mudah adalah mata uang virtual bisa digunakan untuk memindahkan dana di antara anggota, menggalang dana untuk kampanye atau bepergian atau membeli senjata.
Mata uang virtual memiliki keunggulan yang dipilih teroris, pertama, ada unsur anonimitas.
Pengirim dana contohnya menggunakan Bitcoin ditunjukkan dengan alamat berupa deretan angka yang menutupi identitas mereka.
Ada lagi selain Bitcoin yang bahkan menambahkan anonimitas ini menggunakan "pencampur", fungsinya menggabungkan lalu membagikan transaksi yang dilakukan oleh node yang berbeda.
Kedua, mata uang virtual bisa ditransfer menyeberangi perbatasan, bahkan bisa dibawa ke mana saja dibandingkan uang fisik.
Ketiga, desentralisasi membuat mata uang ini terkesan mewah, dengan otoritas pusat tidak punya kewenangan mengakses mata uang ini.
Baca Juga: Pantas Sulit Ditangkap Meski Telah 5 Tahun Diburu, Rupanya Inilah Profesi Ali Kalora Dulunya
Sampai saat ini setidaknya hanya ada 1 kasus penggunaan fintech untuk pendanaan teroris di Indonesia, yaitu oleh Bahrun Naim, tapi masih banyak juga yang belum ditemukan.
Bahkan jika kasus ini terbilang sedikit, topik ini akan terus relevan terutama di Indonesia karena perkembangannya dan dampaknya.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini