Penulis
Intisari-Online.com -Setelah berhasil mengalahkan Covid-19 meski mengabaikan buku pedoman WHO, negara ini kini dihantam oleh flu burung. Akan kembali menang?
Wabah flu burung kembali terdeteksi Jepang. Kementerian Pertanian Jepang melaporkan ada tiga prefektur yang menunjukkan tanda-tanda munculnya gelombang infeksi di peternakan unggas di negara tersebut.
Flu burung ditemukan di sebuah peternakan telur di kota Awaji di prefektur Hyogo yang berada di barat Tokyo.
Lokasi tersebut berada dekat dengan prefektur Kagawa, di mana infeksi flu burung pertama ditemukan pada unggas awal bulan ini, kata kementerian itu di situsnya yang dikutip Reuters, Kamis (26/11).
Setidaknya ada 146.000 ayam di peternakan Hyogo akan disembelih dan dikubur. Sementara pergerakan dalam radius 3 kilometer (km) di sekitar peternakan akan dibatasi.
Dengan tindakan baru ini, berarti ada lebih dari 1,8 juta ayam telah dimusnahkan sejak wabah terbaru dimulai pada bulan ini.
Rabu (25/11), pemerintah Jepang mengatakan telah mendeteksi wabah flu burung di peternakan ayam di sebelah barat daya prefektur Fukuoka. Ini menambah delapan yang sudah dilaporkan di prefektur Kagawa di bagian barat Tokyo.
Wabah flu burung terakhir di Jepang terjadi pada Januari 2018. Lokasinya juga berada di prefektur Kagawa, dengan 91.000 ayam dimusnahkan.
Wabah besar terakhir terjadi antara November 2016 hingga Maret 2017, ketika total 1,67 juta ayam dimusnahkan akibat flu burung strain H5N6.
Kalahkan Covid-19 meski abaikan rulebook
Keadaan darurat akibat pandemi Covid-19 di Jepang hampir berakhir dengan kemunculan kasus baru berkurang tajam menjadi belasan orang.
Jepang mampu mencapai level tersebut, meskipun sebagian besar kebijakan di sana mengabaikan pedoman standar pemutusan rantai penyebaran virus corona.
Baca Juga: Status Kasus Penyebaran Virus Corona Jadi Kejadian Luar Biasa, Ini 4 Contoh Kasus KLB di Indonesia
Lihat saja, tidak ada batasan yang diterapkan pada pergerakan penduduk, dan bisnis dari restoran hingga penata rambut tetap buka.
Tidak ada aplikasi berteknologi tinggi yang melacak pergerakan orang, ditambah tak ada pusat pengendalian penyakit.
Dan, bahkan ketika negara-negara berlomba melakukan pengujian, Jepang hanya menguji 0,2 persen dari populasinya -salah satu tingkat terendah di antara negara-negara maju.
Namun toh, Jepang mampu meratakan kurva penyebaran virus dengan 17.000 kasus dan 826 kematian di negara dengan penduduk 126 juta. Capaian tersebut merupakan angka terbaik di antara kelompok tujuh negara maju.
Di Tokyo, kota yang padat penduduk di Jepang, banyak kasus infeksi turun menjadi satu digit pada beberapa hari belakangan.
Lalu, ketika kemungkinan gelombang infeksi kedua yang lebih parah selalu ada, Jepang sudah mencabut keadaan darurat, dan bakal mulai menjalani kehidupan normal hari ini, Senin (25/5/2020).
Lalu, bagaimana mungkin Jepang bisa mengendalikan penyebaran virus ini tanpa berkiblat pada pedoman yang digunakan oleh negara-negara lainnya.
Hanya satu hal yang disepakati: bahwa tidak ada solusi instan, dan faktor lain yang membuat pembedaan dalam kasus ini.
"Hanya dengan melihat angka kematian, kita dapat mengatakan Jepang berhasil," kata Mikihito Tanaka, Profesor di Universitas Waseda, yang berspesialisasi dalam komunikasi sains.
"Tetapi bahkan para ahli pun tidak tahu alasannya," sambunug dia.
Sebuah daftar mengumpulkan 43 kemungkinan alasan yang dikutip dalam laporan media, mulai dari budaya mengenakan masker, tingkat obesitas di Jepang yang terkenal rendah, hingga keputusan awal untuk menutup sekolah.
Lalu, yang lebih fantastis termasuk klaim penutur bahasa Jepang yang dikenal memancarkan lebih sedikit tetesan yang sarat virus ketika berbicara, dibandingkan dengan bahasa lain.
Baca Juga: Memelihara Ayam di Rumah Sama Saja dengan 'Memelihara' Bom Waktu dengan Kekuatan Mematikan
Para ahli yang dikutip Bloomberg News juga membeberkan segudang faktor yang berkontribusi pada hasil tersebut.
Namun, di dalamnya tidak terpetakan paket kebijakan tunggal di Jepang yang dapat direplikasi di negara lain.
Di sisi lain, respons awal warga terhadap peningkatan infeksi menjadi sangat penting.
Ketika pemerintah pusat dikritik karena langkah-langkah kebijakannya yang dinilai lambat, para ahli memuji peran pelacak kontak di Jepang.
Fitur itu sudah berjalan setelah infeksi pertama ditemukan pada Januari.
Respons cepat semacam ini memang menjadi satu keunggulan inbuilt Jepang yakni lewat keberadaan pusat kesehatan publiknya.
Pusat kesehatan publik memiliki puluhan ribu tenaga paramedis yang sudah terlatih dalam menyusuri jejak infeksi di tahun 2018.
Pada masa-masa normal, para perawat tersebut terbiasa melacak infeksi yang lebih umum seperti influenza dan TBC.
"Ini sangat analog - ini bukan sistem berbasis aplikasi seperti Singapura, tapi bagaimana pun, itu sangat berguna," kata Kazuto Suzuki, Profesor Kebijakan Publik di Universitas Hokkaido.
Dia menulis ulasan khusus tentang respons Jepang dalam pandemi Covid-19.
Ketika negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris baru mulai merekrut dan melatih pelacak kontak, Jepang telah melacak pergerakan penyakit ini sejak segelintir kasus pertama ditemukan.
Para ahli di Jepang menitikberatkan pada penanggulangan kelompok, atau kelompok infeksi dari satu lokasi seperti klub atau rumah sakit, sebelum kasus kian menyebar.
"Banyak orang mengatakan, kami tidak memiliki Pusat Pengendalian Penyakit di Jepang," kata Yoko Tsukamoto, Profesor Pengendalian Infeksi di Universitas Ilmu Kesehatan Hokkaido.
"Padahal pusat kesehatan masyarakat adalah sejenis Pusat Pengendalian Penyakit lokal," kata dia.
Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Wabah flu burung di Jepang telah menyebar ke peternakan di tiga prefektur" dan kompas.com dengan judul "Jepang "Kalahkan" Covid-19 meski Abaikan "Rulebook", Kok Bisa?".