Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu Hassan Wirajuda mengatakan masalah ini adalah masalah utama yang akan dinegosiasikan dengan Timor Leste.
Indonesia telah beberapa kali melakukan pembicaraan dengan Otoritas Transisi PBB di Timor Leste, tetapi sejauh ini belum ada hasil, katanya.
Tetapi beberapa di sini mengatakan klaim seperti itu tidak masuk akal.
Dengan alasan, bahwa Indonesia telah menciptakan lebih banyak kerusakan di Timor Leste, termasuk nyawa yang hilang dan masyarakatnya yang hancur, daripada memberikan aset kepada Timor Leste.
“Jika Indonesia harus membayar Belanda atas asetnya di negara tersebut, kita tidak akan punya banyak sisa sekarang,” kata Taufan, koordinator program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), sebuah LSM yang berbasis di Jakarta dengan catatan advokasi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.
“Ini upaya para politisi untuk menghindari pertanggungjawaban pertanyaan tentang pelanggaran HAM (di Timor Timur) dengan cara memutarbalikkan opini masyarakat ke isu yang kurang penting,” tandasnya. “Tuntutan seperti itu memalukan karena menunjukkan sikap kolonial di kalangan politisi Indonesia.”
Para aktivis mengatakan bahwa pembantaian tahun 1999 oleh milisi pro-Indonesia merugikan Timor Leste hingga empat juta dolar AS, menurut perkiraan media Indonesia.
Pembantaian itu terjadi pada hari-hari dan minggu-minggu setelah pemungutan suara kemerdekaan.
Sebagian besar prasarana dan fasilitas Timor Leste rusak atau menjadi tidak berguna setelah kekerasan terjadi.