Penulis
Intisari-online.com -Semenjak ketegangan sengketa Nagorno-Karabakh merebak lagi mulai 27 September lalu, tidak ada yang mengira Azerbaijan bisa memenangkan perang melawan Armenia tersebut.
Armenia terbilang memiliki superioritas militer lebih tinggi daripada Azerbaijan.
Lantas, mengapa Armenia malah kalah di pertarungan itu?
8 November, pasukan Azerbaijan berhasil menguasai kota Shusha, menguatkan posisi mereka.
Selanjutnya Rusia dan Turki masuk dan mengajukan gencatan senjata yang membuat Armenia mengakui kekalahan mereka.
Kekalahan ini membuat Armenia terkejut, lebih-lebih dengan posisi mereka yang sebenarnya lebih unggul daripada Azerbaijan.
Mengapa konflik tidak berjalan seperti yang dibayangkan pemimpin Armenia?
Jawabannya terletak pada berbagai salah perhitungan Armenia.
Pemimpin Armenia salah membaca hampir semua tentang konflik itu.
Pertama, mengenai lingkungan internasional lebih luas yang terlibat, kedua, respon Rusia.
Ketiga, peran Turki dalam konflik itu, serta keempat, keunggulan Azerbaijan sendiri.
Melansir artikel National Interest, paradoks mendalam selalu dibangun dalam konflik Armenia-Azerbaijan.
Armenia memiliki populasi sepertiga dari populasi Azerbaijan.
Armenia juga tidak memiliki sumber daya alam dan kunci geopolitik di lokasi mereka.
Armenia tapi berhasil memenangkan perang di awal tahun 1990-an sebagian besar karena dua faktor.
Faktor pertama adalah kehancuran internal Azerbaijan dan dukungan Rusia kepada Yerevan.
Faktor-faktor itu membantu Armenia memenangkan kontrol atas Nagorno-Karabakh dan juga teritori lebih besar di sekitar wilayah itu.
Saat Armenia menguasainya, 750 ribu warga Azerbaijan dipaksa melarikan diri dari Nagorno-Karabakh.
Kemenangan ini menjadi dasar kesombongan militer Armenia yang bertahan sampai bulan lalu.
Namun secara diplomatik, Armenia segera tampak jika posisi mereka sangat dirugikan.
Sebagian besar penyebabnya adalah sejarah tragis negara itu, yang membuat Aremnia mendapat belas kasihan internasional.
Namun, pandangan internasional berubah sejak Yerevan memanfaatkan keunggulan teritorial mereka di Nagorno-Karabakh dan mengusir etnis Azerbaijan yang tinggal di sana pada 1993-1994.
Resolusi dibuat di organisasi internasional pada 1996 seperti di PBB dan OSCE, jelaskan jika semua negara di dunia harus mengembalikan wilayah milik Azerbaijan dan solusi untuk konflik bahwa Nagorno-Karabakah akan berdiri sendiri tapi tidak mendapatkan kemerdekaan.
Sementara itu, luasnya wilayah yang diduduki Armenia memastikan bahwa baik kepemimpinan Azerbaijan maupun masyarakatnya tidak akan menerima situasi tersebut.
Sebaliknya, Azerbaijan mulai bangkit, dan Baku menginvestigasikan sebagian besar pendapatan minyak ke militer Azerbaijan.
Kedua negara menjadi semakin berbeda, Azerbaijan semakin kuat sedangkan Armenia malah hanya menggantungkan militer mereka kepada Rusia, yang dilihat mereka sebagai penjamin kemajuan militer mereka.
Armenia semakin jumawa setelah tahun 2008 perang di Georgia dan krisis finansial global yang buktikan pihak Barat tidak dapat mencegah kekalahan militer mereka di Kaukasus, Georgia.
Kemerdekaan Kosovo di tahun yang sama menciptakan negara Albania kedua di wilayah Balkan, yang dilihat Armenia sebagai bukti kemerdekaan Nagorno-Karabakh untuk mereka suatu hari annti.
Harapan semakin melambung tinggi setelah aneksasi Krimea oleh Rusia tahun 2014, yang tunjukkan beberapa kesamaan dengan pencaplokan Armenia ke Nagorno-Karabakh dua puluh tahun sebelumnya.
Hasilnya, Armenia menghiraukan negosiasi yang dipimpin OSCE dan menganggapnya hanya angin lalu saja.
Kondisi mulai berubah memasuki April 2016, ketegangan meningkat membawa perang empat hari yang sebabkan Azerbaijan mendapatkan kontrol beberapa wilayah yang dulunya diduduki Armenia.
Lebih pentingnya, saat Moskow menegosiasikan gencatan senjata beberapa hari sebelumnya, mereka tidak memukul mundur pendudukan Azerbaijan, sebuah alarm bagi Armenia jika mereka memperhatikan.
Baca Juga: Menang Perang di Nagorno-Karabakh, Begini Taktik Azerbaijan Lawan Armenia, Simak Logika Militernya!
Namun, Armenia tidak memperhatikan tindakan Moskow.
Perubahan pertama tidak terasa, banyak orang Armenia secara bertahap mulai menyebut wilayah pendudukan di sekitar Nagorno-Karabakh sebagai "wilayah yang dibebaskan", Armenia tidak lagi tunjukkan tidak bersedia mengembalikan wilayah tersebut ke Azerbaijan.
Saat Nikol Pashinyan mendapat kekuasaan pada musim semi 2018 lalu setelah Revolusi Beludru, dia awalnya tampak bersedia memulai kembali proses perdamaian, dan menariknya elit Azerbaijan menyambut kedatangannya: Baku melewatkan kesempatan untuk melancarkan operasi militer selama kekacauan internal Armenia.
Baku juga bersedia memberi Armenia waktu untuk mengkonsolidasikan kekuatannya, dan ketika Aliyev serta Pashinyan bertemu di Dushanbe pada Oktober 2018 lalu, mereka sepakat untuk mengurangi ketegangan.
Prospek perdamaian tampak lebih baik daripada sebelumnya, sampai kemudian 2019 Armenia menolak dasar negosiasi dari OSCE, dan menuntut keterlibatan dalam pembicaraan pemimpin lokal di Nagorno Karabakh, singkatnya, Armenia mengubah cara negosiasi mereka sampai sebabkan Turki khawatir, pasalnya Armenia mengancam hancurkan infrastruktur energi di jalur pipa minyak dan gas Azerbaijan.
Kesalahan Armenia berikutnya dan yang paling fatal adalah mungkin Armenia tidak melihat Putin berupaya menarik Azerbaijan ke orbit Rusia.
Ahli banyak melihat Kremlin memandang Armenia sebagai pijakan mencapai pengaruh atas Georgia dan Azerbaijan, yang lebih penting secara geopolitik bagi Rusia.
Jika tidak, tidak mungkin Moskow menjual sistem senjata ke Azerbaijan dan mengajak Baku bergabung dalam organisasi pimpinan Rusia seperti Uni Ekonomi Eurasia.
Ironisnya lagi, ada ketidakpercayaan tinggi antara Putin terhadap Pashinyan terutama dalam caranya memimpin, serta Armenia gagal melihat jika Rusia tidak lagi relevan dalam kancah politik internasional maupun regional.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini