Penulis
Intisari-online.com -Bisnis penerbangan menjadi sektor yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19.
Di mana pandemi Covid-19 memberikan dampak signifikan terhadap kinerja maskapai, dengan adanya pembatasan pergerakan dan penerbangan pada masa pandemi.
Pengamat penerbangan AIAC Arista Atmadjati mengatakan, imbas pandemi Covid-19 yang sudah mulai merebak pada Februari lalu masih terasa berat oleh semua maskapai nasional sampai dengan saat ini.
Rendahnya tingkat okupansi telah menggerus pendapatan maskapai.
"PHK tidak terelakkan kepada ratusan karyawan sampai mencari pinjaman untuk membayar biaya leasing.
"Karena mau ngga mau terbang tidak terbang biaya leasing harus dibayar setiap bulannya," kata Arista saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (24/9).
Menurutnya hal tersebut yang saat ini menjadi beban terbesar yang di alami maskapai.
Paling maksimal maskapai dapat meminta penjadwalan ulang membayar cicilan pesawat agar dapat ditunda.
Selain itu, meski pemerintah sudah memberikan relaksasi kepada maskapai, dengan ditingkatkannya batasan okupansi menjadi 70% total kapasitas pesawat, tetapi hal tersebut dinilai belum mampu mendongkrak pendapatan maskapai.
Sebab, maskapai disebut masih melakukan efisiensi dengan tidak mengerahkan semua armada pesawatnya.
"Penggunaan armada masksimal rata-rata baru 30%.
"Saat ini okupansinya jelek sekali paling dibawah 40% itupun dari kapasitas 70% yang diperbolehkan," katanya.
Lebih lanjut, Arista menyebutkan, kontribusi gaji atau upah karyawan terhadap total biaya operasional maskapai hanya sebesar 10%-15%.
Namun, dengan kondisi okupansi dan armada yang masih rendah, perampingan karyawan dinilai langkah yang tidak terelakkan oleh maskapai.
"Komponen 10-15% itu kalau pesawat terbang semua. Saat ini tidak, di situlah problemnya," ujarnya.
Menurutnya jalan keluar paling singkat saat ini mengandalkan angkutan kargo yang setiap maskapai bisa lakukan karena negara Indonesia dipisahkan pulau-pulau perlu logistik yang cepat dan murah.
Selain itu dengan terbatasnya pergerakan manusia di udara, perdagangan online meningkat pesat sehingga muatan kargo makin naik.
Arista meyebut, pemerintah memang harus turun tangan membantu keberlangsungan bisnis maskapai nasional.
Dia menyebut, perlu sejumlah insentif yang dikucurkan pemerintah untuk menyelamatkan industri penerbangan dalam negeri.
Sederet pajak-pajak yang selama ini jadi beban maskapai, menurutnya harus segera direlaksasi.
Upaya Pemerintah
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/PMK/06/2020 tentang Investasi Pemerintah dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Beleid ini rupanya telah berlaku mulai tanggal 2 September 2020.
Beleid ini telah membuka jalan pemerintah untuk bisa menyuntikkan dana kepada perusahaan pelat merah melalui surat utang.
Baca Juga: Paten Smartphone Lipat Xiaomi Beredar di Internet, Punya Tiga Layar!
Sehingga, tidak hanya lewat Penyertaan Modal Negara (PMN) saja yang merupakan dana segar tanpa imbal hasil.
Tak hanya itu, pembiayaan korporasi bagi BUMN dalam program PEN ini juga dilakukan dalam bentuk pemberian pinjaman.
Pinjaman yang dimaksud adalah pemberian dukungan kepada BUMN dan lembaga untuk memperkuat dan menumbuhkan kemampuan ekonomi BUMN dan lembaga yang bersangkutan.
Yustinus Prastowo, Staf Khusus Kementerian Keuangan menjelaskan ada dua skema baru yang sudah disusun dan diupayakan untuk menyelamatkan industri penerbangan yakni dengan pemberian pinjaman untuk BUMN yakni melalui special mission vehicle (SMV) pemerintah dan mandatory exchangeable bond (MEB) atau penerbitan convertible bond atau obligasi pinjaman yang dikonversi kepada ekuitas kalau tidak bisa dibayar.
“Untuk pinjaman ke industri penerbangan ini skema yang diberikan berupa pinjaman melalui skema MEB atau penerbitan surat utang,” kata Yustinus saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (24/9).
Sementara itu, Yustinus menambahkan, insentif atau penyaluran bantuan program PEN untuk korporasi selain BUMN maupun untuk swasta berupa penempatan dana untuk restrukturisasi usaha padat karya dengan total pagu Rp 3,42 triliun dan pinjaman kredit korporasi non-UMKM dan padat karya dengan total pagu Rp 7 triliun.
Yustinus juga bilang, realisasi penyaluran program PEN untuk pembiayaan korporasi ini masih menunggu waktu yang tepat. Yang pasti ia berharap bulan September ini akan segera dilaksanakan. “Realisasi pembiayaan korporasi masih menunggu waktu yang tepat,” tambahnya.
Sehingga, berdasarkan data Kementerian Keuangan, program PEN untuk pembiayaan korporasi telah dialokasikan sebesar Rp 53,57 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebesar Rp 20,3 triliun dan non DIPA sebesar Rp 29,90 triliun serta tanpa DIPA Rp 3,4 triliun.
(Selvi Mayasari, Venny Suryanto)
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Bisnis maskapai penerbangan kian terpuruk, ini sejumlah insentif yang dibutuhkan" dan "Begini upaya pemerintah untuk menyelamatkan industri penerbangan"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini