Ia menambahkan, tiga dari lima negara tersebut berasal dari Timur Tengah, sementara dua negara lainnya dari luar kawasan.
Bagi Pangeran UEA Muhammed bin Zayed, perjanjian damai itu akan menjadi mercu suar bagi pencinta perdamaian dan memungkinkannya untuk mendukung kemerdekaan Palestina.
"Perjanjian ini akan memungkinkan kita untuk lebih mendukung rakyat Palestina dan mewujudkan harapan mereka menjadi negara merdeka dalam wilayah yang stabil dan makmur," kata dia, dikutip dari al-Quds, Selasa (15/9/2020).
Sementara itu, Perdana Menteri Palestina Muhammad Shtayyeh menganggap normalisasi UEA dan Bahrain dengan Israel sebagai kekalahan bagi Liga Arab yang kini semakin terpecah.
Para pejabat Palestina juga umumnya memprotes kesepakatan itu sebagai hal yang memalukan dan menodai perjanjian damai 2002 yang diprakarsai oleh Arab Saudi.
Di Manama, warga Bahrain juga menentang normalisasi negaranya dengan Israel. Sebagai bentuk penolakan itu, tagar "Bahrain menentang normalisasi" dan "Normalisasi adalah pengkhianatan" menggema di media sosial Twitter.
Tekanan AS dan Israel
Menanggapi hal itu, Guru Besar Kajian Timur Tengah Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Ibnu Burdah, MA, mengatakan, UEA dan Bahrain sepakat untuk menormalisasi hubungan mereka dengan Israel akibat tekanan dari Trump.