Penulis
Intisari-Online.com - Dua puluh satu tahun melepaskan diri dari Indonesia, rakyat Timor Leste mungkin belum bisa melupakan berbagai peristiwa yang terjadi mengiringi perjalanan kemerdekaannya.
Penjajahan berlangsung beratus-ratus tahun, pertumpahan darah terjadi dari waktu ke waktu.
Operasi seroja yang dilakukan militer Indonesia merupakan salah satu peristiwa berdarah yang pernah dihadapi Timor Leste.
Itu terjadi tak lama setelah Timor Leste merasakan kemerdekaannya dari jajahan Portugis.
Dalam peristiwa yang dimulai pada 7 Desember 1975 ini, sekitar 100.000–180.000 tentara dan warga sipil diperkirakan telah terbunuh atau mati kelaparan.
Operasi seroja ini terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Bukan tanpa alasan Presiden Soeharto melakukan invansi ke bekas jajahan Portugis itu.
Itu dilakukan karena adanya kekhawatiran bahwa gerakan komunis akan merembes ke Indonesia melalui Timor.
Sebelumnya, pada tahun 1975, Vietnam, Laos, dan Kamboja telah menjadi komunis.
Dikhawatirkan Timor Leste pun akan bergabung, karena pada saat itu kekosongan kekuasaan politik telah terjadi di Timor Leste.
Penarikan Portugal yang tergesa-gesa setelah 400 tahun pemerintahan kolonial, membuat Timor Leste dikuasai oleh kelompok sayap kiri, Fretilin.
Kelompok inilah yang mendeklarasikan kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste, dan menjadi partai politik yang berkuasa di Bumi Lorosae sebelum Indonesia melakukan invansi.
Keberhasilan operasi seroja membuat Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia dan menyandang status sebagai provinsi ke-27 saat itu.
Namun, keberhasilan Indonesia tentu merupakan luka bagi rakyat Timor Leste.
Tak ayal, ketika Presiden Timor Leste Jose Ramos-Horta mendesak rakyatnya untuk memaafkan Presiden Soeharto, itu menjadi perdebatan.
Peristiwa itu terjadi saat Presiden Soeharto terbaring sakit di rumah sakit.
Melansir Reuters, pada 2008, Ramos-Horta mendesak rakyat Timor untuk mendoakan Soeharto, juga memaafkannya.
Saat itu, Soeharto telah berjuang untuk hidupnya selama hampir dua minggu, dan tengah menggunakan ventilator setelah beberapa kali gagal organ.
“Tidak mungkin bagi kami untuk melupakan masa lalu, tetapi Timor Leste harus memaafkannya sebelum dia meninggal," katanya.
"Dan saya meminta orang-orang untuk mendoakan Suharto sebagai mantan presiden Indonesia,” kata Presiden Ramos-Horta, yang sebagian keluarganya terbunuh selama pendudukan.
Dikutip dari Aljazeera, Ramos-Horta, yang kehilangan tiga saudara laki-laki dan satu perempuan selama operasi militer dan dianugerahi hadiah Nobel perdamaian pada tahun 1996, mengatakan dia tahu dari pengalaman pribadi betapa sulitnya melupakan kebrutalan operasi tersebut.
Namun, menurutnya rakyat Timor Leste yang telah merdeka tidak boleh menjadi 'sandera'.
"Hari ini kami bebas, kami selamat, kami mendapat kemerdekaan, dan karenanya kami tidak boleh menjadi sandera, betapapun tragisnya itu, di masa lalu," kata Jose Ramos Horta kepada Al Jazeera.
Meski meminta rakyatnya mendoakan dan memaafkan Presiden Soeharto, namun Ramos-Horta mengatakan dia tidak akan mengunjungi Soeharto di rumah sakit.
Ia mengatakan akan meminta Paus Benediktus untuk mendoakan mantan pemimpin itu ketika dia mengunjungi Vatikan.
Ramos-Horta pun menyinggung tentang pembantaian yang dilakukan di era Soeharto.
“Soeharto membuat banyak hal positif bagi Indonesia, seperti peningkatan ekonomi dan pembangunan, tapi dia juga banyak melakukan kesalahan seperti pembantaian di Indonesia dan Timor Leste,” kata Ramos-Horta.
Untuk diketahui, Presiden Soeharto meninggal pada Minggu 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kemudian dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini