Penulis
Intisari-Online.com - China sudah berkali-kali menunjukkan arogansi di Laut China Selatan dan menunjukkan hegemoni atas 10 negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia.
Terbaru adalah China menurunkan kapal survei di perairan yang diklaim Malaysia, tidak jauh dari kapal pengeboran West Capella, yang disewa perusahaan minyak Malaysia, Petronas, untuk mensurvei minyak di Laut China Selatan.
Dan setelah West Capella menyelesaikan aktivitasnya pekan lalu, kapal perang AS USS Gabrielle Giffords meninggalkan pangkalannya di Singapura untuk berlayar melewatinya.
Ini adalah ketiga kalinya dalam beberapa pekan terakhir bahwa Amerika Serikat telah melakukan "operasi kehadiran" di perairan yang kaya sumber daya, yang telah menjadi lokasi ketegangan baru antara China dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara terkait eksplorasi minyak dan kegiatan penangkapan ikan.
Baca Juga: Percepat Strategi Sirkulasi Ganda, Ekonomi China diramal Bakal Melampaui AS pada 2032!
China mengklaim bagian besar Laut China Selatan yang membentang kira-kira 1.000 mil dari pantai selatannya. Mereka telah menggunakan kapal survei pemerintah Tiongkok, kapal penjaga pantai dan kapal nelayan milisi untuk mempertahankan kehadiran di sana.
Meski China mengatakan kapal-kapal itu melakukan kegiatan normal, Amerika menuduh Tiongkok melakukan "taktik intimidasi".
Pada tahun 2018, Vietnam - yang memiliki klaim teritorial dalam laut yang disengketakan bersama dengan Malaysia, Brunei dan Filipina - menunda proyek pengeboran minyak oleh perusahaan Spanyol Repsol, dilaporkan karena tekanan China.
Di antara negara-negara ASEAN, Vietnam paling vokal menentang arogansi China.
Lalu disusul Filipina.
Sementara delapan anggota ASEAN yang lain termasuk Malaysia dan Indonesia tetap diam dan kalaupun berkomentar pasti menekankan pentingnya menghindari konflik dan menjaga stabilitas regional.
Pengamat percaya bahwa masing-masing negara tidak akan secara terbuka bertengkar dengan China karena takut akan mempengaruhi hubungan perdagangan dan investasi, terutama di tengah penurunan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus corona.
Joseph Liow Chin Yong, pakar geopolitik Asia-Pasifik di Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan bahwa preferensi negara-negara ASEAN untuk terlibat dalam diplomasi di belakang layar, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan integritas mereka tanpa membahayakan hubungan dengan China.
Kedaulatan adalah Kunci
Keputusan Vietnam untuk berbenturan kepala dengan China mencerminkan kompleksnya hubungan kedua negara bertetangga, di mana upaya bersama untuk meningkatkan perdagangan bilateral tidak mengurangi kepentingan nasionalnya.
Pekan lalu, secara terbuka Vietnam menentang larangan Tiongkok yang tidak memperbolehkan nelayan negara lain termasuk nelayan Vietnam menangkap ikan di sekitar Kepulauan Paracel yang kini dikuasai China.
Bulan lalu, Vietnam juga memprotes keputusan China untuk mendirikan distrik administratif di Paracels, dan satu lagi di Kepulauan Spratly, yang diklaim Vietnam dan Filipina.
Sebelumnya Vietnam menyalahkan China dan mengajukan protes resmi karena menenggelamkan kapal penangkap ikannya.
Trung Nguyen, Kepala Departemen Politik Internasional di Vietnam National University, mengatakan Vietnam telah menentang larangan penangkapan ikan sejak diperkenalkan pada tahun 1999 dan menyadari risiko tindakan hukuman dalam bentuk gangguan perdagangan atau pembatasan perjalanan dari Tiongkok.
Namun Vietnam tidak terlalu khawatir akan pembalasan China.
"Hanoi rela hubungan bilateral dengan Beijing berubah masam, demi melindungi kedaulatannya daripada khawatir tentang memicu permusuhan," katanya.
"Vietnam tidak mentolerir fakta bahwa raksasa tetangganya dapat memberlakukan larangan penangkapan ikan di perairan mereka, sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut."
Vietnam kehilangan kendali atas Kepulauan Paracel pada 1974.
Saat itu, pasukan AS menarik diri dari Vietnam Selatan, China menyerbu Kepulauan Paracel, yang disebut Kepulauan Xisha oleh Beijing dan Kepulauan Hoang Sa oleh Hanoi.
Lebih dari 70 tentara Vietnam tewas selama invasi.
Filipina di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte mendukung Vietnam setelah China menenggelamkan kapal nelayan Vietnam.Filipina juga mengajukan protes diplomatik terhadap China setelah kapal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) mengunci (siap menembakan misil) kapal Angkatan Laut Filipina dan China mendirikan distrik administratif baru untuk memerintah Paracels, Spratlys, dan Macclesfield Bank.
Jay Batongbacal, pakar hukum kelautan dan profesor di Universitas Filipina, mengakui Filipina melontarkan pernyataan yang lebih keras, "yang sebelumnya tidak dilakukan."
"Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina lebih memilih untuk melakukan diplomasi dengan mengajukan protes tanpa pengumuman kepada publik untuk mengakomodasi keinginan China agar urusan ditangani dengan diam-diam," kata Batongbacal.
Ini berbeda dengan pemerintahan Benigno Aquino, yang membawa China ke Pengadilan Internasional pada 2013 atas klaim teritorialnya.
Setelah Den Haag memutuskan mendukung Filipina pada 2016, Duterte dikritik karena gagal menegakkan keputusan saat ia mengejar bantuan Tiongkok dan kesepakatan investasi.
"Saya tidak mengharapkan Manila untuk mengambil tindakan drastis terhadap Beijing kecuali jika PLA secara fisik mengambil alih pulau-pulau yang diduduki Filipina," kata Anna Patricia Saberon, anggota fakultas di Universitas Ateneo de Naga.
"Kepemimpinan Filipina tampak pro-China dan itu akan berlanjut sampai masa jabatan Dutere berakhir."
Demikian pula, Malaysia yang mengalami langsung ancaman terselubung China bahwa eksplorasi energi tidak boleh terjadi tanpa partisipasi China, justru memberi respons terukur.
Ketika kehadiran kapal survei China di lokasi aktivitas West Capella menjadi isu internasional, akhirnya AS dan Australia mengerahkan kapal perangnya ke wilayah tersebut,
Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein justru memperingatkan "kesalahan perhitungan" yang dapat mempengaruhi stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut.
Dalam sambutan resmi pertamanya tentang pertikaian itu, dia mengatakan Malaysia berkomitmen untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan "komunikasi yang terbuka dan berkelanjutan" dengan semua pihak terkait, termasuk China dan AS.
Malaysia telah bergerak untuk menunjukkan kepentingan teritorialnya, tahun lalu mengklaim landas kontinen diperpanjang di bagian utara Laut Cina Selatan yang ditentang Beijing.
Indonesia, yang bukan negara penuntut tetapi mempertahankan zona ekonomi eksklusif di Kepulauan Natuna di tepi Laut China Selatan, telah menantang upaya China untuk menangkap ikan di wilayah tersebut.
Awal tahun ini, Indonesia memprotes kapal penjaga pantai Tiongkok yang mengawal kapal nelayan Tiongkok di ZEE Natuna hingga mengerahkan jet tempur dan kapal perang untuk patroli.
China Akan Makin Berani
Para kritikus mengatakan keraguan ASEAN akan mengambil satu kesepakatan menyikapi ketegangan di Laut China Selatan yang sudah berlangsung menahun.
Situasi ini bakal dimanfaatkan China dengan semakin memberani berbuat lebih banyak untuk mempertaruhkan "hak historis" -nya di Laut China Selatan.
Ini terutama karena pembicaraan untuk menyelesaikan kode etik di perairan yang disengketakan kembali tertunda karena pandemi Covid-19.
Selama enam tahun terakhir, Tiongkok telah membangun pulau-pulau dan fasilitas buatan di Laut China Selatan yang dapat digunakan untuk keperluan militer.
Ini telah memicu balasan oleh AS, yang tidak memiliki klaim maritim di perairan, untuk mempertahankan kehadiran yang kuat melalui kebebasan operasi navigasi dan penerbangan militer, juga sebagai sarana untuk menunjukkan dukungan bagi sekutu-sekutunya di Asia.
Trung Nguyen dari Universitas Nasional Vietnam percaya bantuan Amerika harus disambut.
"Komitmen Washington untuk menegakkan hukum internasional adalah apa yang dibutuhkan negara-negara ASEAN untuk melindungi hak-hak mereka dalam menghadapi perilaku tegas Cina," katanya.
Tetapi Joseph Liow Chin Yong dari NTU mengatakan meski patroli AS berperan penting bagi keamanan regional, tidak ada negara ASEAN yang akan menyatakan hal itu karena mereka tidak ingin terlihat berpihak pada Washington melawan Beijing.
Nguyen Quang Dy, mantan pejabat kementerian luar negeri Vietnam, telah menyarankan arsitektur keamanan regional baru untuk menggagalkan ekspansi maritim Tiongkok di masa depan.
Satu ide bisa menjadi pengaturan "Quad-plus", di mana AS, Jepang, India dan Australia bekerja sama dengan negara-negara ASEAN.
Ide ini disampaikan Nguyen Quang Dy dalam sebuah catatan yang diterbitkan oleh Institut Kebijakan Strategis Australia, yang didanai oleh Canberra dan pemerintah asing termasuk Amerika Serikat.
Namun ada sedikit indikasi bahwa status quo diatur untuk berubah.
"Laut China Selatan adalah masalah regional tetapi diserahkan kepada setiap negara penuntut untuk menemukan solusi," kata Joseph Liow Chin Yong.
"ASEAN tidak pernah dimaksudkan untuk terlibat dalam penyelesaian konflik." (*)
Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Meski China Merajalela di Laut China Selatan, hanya Vietnam yang Garang Melawan, Ini Pemicunya