Penulis
Intisari-Online.com - Hari ini, 17 Agustus 2020, Bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang ke-75.
Untuk sampai pada hari-hari seperti sekarang, bangsa Indonesia telah menempuh 'perjalanan' panjang.
Kenangan-kenangan pilu para pejuang dan rakyat Indonesia dari masa-masa itu sebagian masih dirasakan sampai saat ini.
Seperti yang dirasakan oleh Ngatimin, yang berasal dari Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar.
Baca Juga: Salah Satunya Nominal Rp 850.000, Inilah Sederet Uang Rupiah Khusus Peringatan HUT Kemerdekaan RI
Ingatan saat sang ayah ditembak mati tentara Belanda kala tengah menggandeng dirinya dan sang adik masih terekam jelas dalam ingatan Ngatimin.
Mereka saat itu tengah berlari di jalanan kampung halamannya, Desa Paulan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar untuk mencari tempat persembunyian.
Pasalnya, ayahnya tengah diburu tentara dan antek Belanda karena dianggap pejuang.
Ayah Ngatimin langsung tersungkur dan meninggalkannya dan sang adik sendirian di tengah jalanan kampung.
Begitulah memoar kematian sang ayah yang masih terpatri dalam ingatan Ngatimin Citro Wiyono (87), seorang pejuang.
Nadanya begitu emosional dan meninggi tatkala menceritakan kematian sang ayah saat Agresi Militer II tahun 1948.
Ayah Ngatimin muda dicap penjuang lantaran sering membantu membangun parit perangkap tank di jalan-jalan kampung.
Terlebih lagi, kediaman Ngatimin tak jauh dari pangkalan udara tentara belanda 'Panasan' atau yang kini dikenal dengan Landasan Udara (Lanud) Adi Soemarmo.
"Pada waktu itu pukul 24.00 WIB, ayahku ikut gotong royong membuat jebakan tank di jalan kampung. Dibikin lubang selebar dan sepanjang tank dengan kedalaman 1,5 meter," kata Ngatimin, Minggu (16/8/2020).
Antek-antek Belanda, lanjut Ngatimin, ikut serta dalam gotong royong itu sembari mendata orang yang terlibat.
Itupun langsung dilaporkan kepada tentara Belanda.
"Antek-antek Belanda menyamar pakai ikat merah putih ikut-ikutan di dalamnya," tuturnya.
Tentara Belanda mulai memburu para pejuang yang ada di kampung halaman Ngatimin muda dengan bekal data antek mereka.
Ayah Ngatimin, menjadi satu yang diburu dan berujung pada kematian.
Mayat-mayat warga bergelimpangan di jalanan kampung pada pukul 06.00 WIB.
"Setelah bapakku ditembak Belanda hatiku marah. Pukul 06.00 WIB, mayat penduduk kampung sudah ada 15 bergelimpangan di jalan," ujarnya.
Pemandangan gelimpangan mayat dan kematian sang ayah membuat Ngatimin muda membulatkan tekat untuk ikut berjuang.
Saat itu, Ngatimin masih menginjak usia kurang lebih 16 tahun.
"Marah saya. Bapak ketembak orang. Tetangga sudah jadi mayat. Saya punya pendapat ikut berjuang saja," ucap Ngatimin.
"Tidak ada yang menyuruh. Kalau siang menginjak pukul 10.00 WIB, saya lari sana lari sini mengikuti perjalanan Angkatan Darat," tambahnya.
Suara deru tembakan dan dentuman bom pesawat menjadi hal yang familiar di telinga Ngatimin Muda.
Ngatimin Muda mengikuti perjalanan tentara Indonesia menyerbu gudang senjata yang ada di barat pangkalan udara Panasan.
Ia hanya melihat dari kejauhan tentara-tentara Indonesia meletakkan senjata laras panjang mereka di sebuah kebun.
Mereka hanya mengandalkan sebilah pisau dalam penyerbuan itu.
Pukul 11.00 WIB menjadi waktu yang selalu dipilih tentara Indonesia untuk menyerbu zona tentara Belanda.
Pasalnya pada jam itu, sinar matahari terlalu menyilaukan bagi mata para tentara belanda.
Hanya butuh waktu satu jam tentara Indonesia menyerbu gudang itu guna mengamankan persediaan.
Melihat banyak senjata ditinggal di kebun, Ngatimin muda berinisiatif menutupinya dengan dedaunan yang tak jauh dari lokasi penyerbuan.
"Saya tidak ada yang nyuruh, saya tutupi dengan sampah apa saja biar tidak diketahui mata-mata Belanda," ujar Ngatimin.
Aksi Ngatimin muda membuat komandan pasukan tentara Indonesia terkejut dan bertanya-tanya.
"Komandan berkata, ini tertutup semua siapa yang menutupi, ini luar biasa. Kalau tidak ditutupi ketahuan antek Belanda. Berbahaya," tutur Ngatimin.
"Lama-lama saya ketahuan, saya ditanya, kamu gak takut mati? Setiap hari lari sana lari sini di tengah baku tembak," tambahnya.
Tekat Ngatimin untuk terjun berlaga sudah sekuat baja.
"Saya berkata, ndak, pak, saya ndak takut mati saya akan membela bangsa dan negara, saya berani karena ayahku ditembak Belanda, aku marah luar biasa, belum tetangga ayah jadi mayat semua," ucap dia.
"Kalau saya mati di peperangan, saya ikhlas, saya ikhlas, saya korbankan nyawa saya," tegasnya.
Ngatimin muda lantas diberikan peran olah komandan untuk menjadi mata-mata bagi tentara Indonesia.
Ia bahkan sampai harus memerankan sosok yang ditugaskan sang komandan waktu itu.
"Komandan berkata ke saya, kamu saya kasih tugas pengawas musuh karena kamu masih di bawah umur tidak dicurigai musuh dan antek Belanda," kata Ngatimin.
"Kemudian, kamu harus pura-pura jadi anak tidak normal saat ketemu dengan tentara Belanda," imbuhnya.
Peran itupun dijalankan Ngatimin muda dengan baik, tentara Belanda tidak menyangka bila dirinya adalah seorang mata-mata.
"Ada Belanda lewat saya layaknya anak tidak normal ngiler-ngiler gitu. Akhirnya, saya dibiarkan saja," tutur dia.
Ngatimin muda pun harus terus memberikan informasi kepada komandannya soal keberadaan tentara Belanda.
Itu guna mendukung strategi yang disiapkan sang komandan.
Seiring berjalannya waktu, peran Ngatimin muda semakin berkembang.
Tak hanya menjadi mata-mata, ia juga harus memastikan senjata-senjata tentara Indonesia aman disembunyikan di wilayah musuh.
Satu di antaranya, Ngatimin muda harus memastikan senjata tentara Indonesia aman disembunyikan di sisi timur lapangan udara Panasan.
Itupun membuatnya harus berjuang supaya tak tertangkap.
Apabila tertangkap, Ngatimin muda harus menghadapi nasib kematian.
"Senapan, granat, peluru rentengan, dan bazoka saya letakkan di kebun antara lapangan udara dan perkampungan lalu saya tutupi sampah," kata dia.
Ngatimin mengaku dirinya bahkan sempat bertahan hidup dengan memanfatkan tanaman di sekitarnya selama 20 hari.
Lantaran, ia harus bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.
Terkadang Ngatimin muda juga harus menahan rasa laparnya.
Baca Juga: Bisa karena Faktor Psikis Maupun Klinis, Ini Penyebab dan Cara Mengatasi Cegukan
"Tiap hari begitu saya berjuang tanpa makan, caranya menghitung hari itu batang pohon kecil saya tekuk tapi tidak dampai patah," aku dia.
"Kalaupun makan, makan dedaunan yang ada di sekitar meski rasanya tidak enak," tambahnya.
Perjuangan Ngatimin muda membantu melawan tentara Belanda usai saat tahun 1951.
Saat itu, ia pun lantas memilih masuk sekolah rakyat yang ada di daerah Colomadu.
Selain itu, Ngatimin mengaku tidak mendapat kabar apapun soal komandan yang pernah memimpinnya pasca perlawanan dengan tentara Belanda sudah usai.
Nama komandannya pun sampai saat ini ia tidak tahu lantaran saat itu dirinya tak pandai membaca.
"Saya tidak pernah tanya, meski ada tulisan di bajunya, saya belum sekolah, belum bisa baca," tandasnya.
Kini di usia tua yang semestinya dipakai untuk beristirahat, Ngatimin menyambung hidup dengan berjualan mainan.
Dengan laba tak seberapa, ia berusaha bertahan hidup dengan profesi yang kini ditekuninya itu.
Artikel ini telah tayang di Tribunsolo.com dengan judul Kisah Ngatimin, Dulu Mata-mata Indonesia sampai Rela Makan Daun, di Usia Tua Jual Mainan
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari