Penulis
Hanya Tinggal Disuarakan AS yang Terang-terangan Pilih Kasih, Nasib Konflik Israel-Palestina Kini Nyaris Tak Lagi Dipikirkan Dunia, Masih Mungkinkah Perdamaian Tercipta?
Intisari-Online.com - Mengenai konflik Israel dan Palestina, belakangan tak terdengar.
Bukan karena telah ditemukan atau disepakati penyelesaian diantara keduanya, karena bahkan penyelesaian konflik tersebut hampir tidak tercatat dalam agenda regional apalagi global.
Menulis diThe Strategist (15/7/2020), Mantan Menteri Luar Negeri Israel, Shlomo Ben-Ami mengungkapkan bahwa hanya pemerintahan Presiden AS Donald Trump yang mengajukan rencana perdamaian Israel-Palestina.
Namun, itu pun jelas-jelas pilih kasih atau condong ke arah Israel. Sementara dunia hampir tidak menanggapi.
Adapun Israel, hampir tidak ada kekuatan perdamaian yang dapat ditemukan di antara para pemimpinnya.
Sebaliknya, Israel telah meninggalkan kemiripan empati atau kasih sayang terhadap penderitaan Palestina.
Alih-alih, diperkuat oleh aliansinya yang 'nakal' dengan Trump, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sekarang mengejar, lebih agresif dari sebelumnya, impian hipernasionalistiknya untuk secara efektif mencaplok tanah Palestina, dengan secara sepihak 'menerapkan kedaulatan' atas mereka, tulis Ben-Ami.
Terkait upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina, sebenarnya pernah ada penyampaian solusi dua negara yang dianggap paling adil dan realistis yang pernah ada, yaitu dari dua puluh tahun lalu.
Dua puluh tahun yang lalu, Presiden AS Bill Clinton pernah mengundang Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Ketua Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat ke pertemuan puncak perdamaian di Camp David.
Itu adalah upaya berani untuk menyelesaikan salah satu konflik terpanjang di zaman modern.
Meskipun tidak ada kesepakatan yang dicapai di KTT, namun dari kerangka kerja yang dihasilkan pertemuan tersebutlah yang disebutmenjadi fondasi di mana Clinton membangun 'parameter perdamaian'-nya.
Seperti apa parameter Clinton?
Mengutip The Strategist, di bawah apa yang disebut parameter Clinton , sebagian besar permukiman Israel akan dibongkar, untuk menciptakan negara Palestina yang mencakup 100% Jalur Gaza dan 97% Tepi Barat.
Wilayah akan ditransfer dari Israel, dengan imbalan tanah yang diberikan Palestina di Tepi Barat.
Negara Palestina akan mencakup bagian Arab di Yerusalem, yang akan berfungsi sebagai ibukotanya, sedangkan bagian Yahudi di kota itu akan menjadi ibu kota Israel.
Perpecahan itu akan memberi orang Palestina kedaulatan atas al-Haram al-Sharif (yang oleh orang Yahudi disebut Temple Mount), meskipun Israel akan mempertahankan kendali atas Tembok Barat dan daerah sekitarnya.
Sebuah koridor akan dibuat antara tanah Palestina, yang disebut Clinton sebagai 'jalur aman permanen', dan membuat negara baru bersebelahan.
Sehingga akhirnya, pengungsi Palestina akan dapat memilih untuk kembali tanpa batasan ke negara baru Palestina, kembali ke negara Israel dengan pembatasan, untuk bermukim di negara ketiga, dan/atau untuk menerima kompensasi finansial, yang didanai oleh komunitas internasional.
Negosiator Israel ingin menerjemahkan parameter menjadi penyelesaian resmi.
Itu akan menjadi kesepakatan yang jauh lebih baik bagi Palestina daripada yang ditawarkan di KTT Camp David.
Tetapi akhirnya Palestina menolak parameter tersebut, dengan alasan bahwa mereka seharusnya tidak diizinkan untuk membatasi negosiasi di masa depan.
"Selama upaya terakhir untuk mencapai kesepakatan di Taba, Mesir, Abu Ala, kepala negosiator Palestina, mengakui kepada kami bahwa Arafat tidak lagi tertarik dengan tawaran itu," tulis Ben-Ami, dikutip dari The Strategist.
Disebut jika itu adalah kesalahan yang menghancurkan, konsekuensi yang diderita rakyat Palestina setiap hari.
Dalam surat tahun 2002 , salah satu mantan menteri Arafat, Nabil Amr, mengutuk pendekatan ini, kata Ben-Ami.
"Disemangati oleh skala tragedi Palestina dan kesenangan komunitas internasional, Arafat tidak pernah menerima itu. Sebaliknya, dia mencari kesepakatan yang dia tahu secara politis tidak mungkin bagi lawan bicaranya di Israel,"
"Ketidakpedulian kompulsif terhadap konteks politik dan strategis ini menghancurkan peluang Palestina untuk mendapatkan perjanjian perdamaian yang realistis, adil, dan dapat dijalankan, dan tidak hanya pada saat itu.Faktanya, hal itu mungkin telah menghancurkan perjuangan Palestina sama sekali," sambungnya.
Saat konflik Israel-Palestina hampir dilupakan seluruh dunia, orang-orang Palestina dibiarkan tanpa kewarganegaraan.
Masih mungkinkah perdamaian tercipta?
Menurut Ben-Ami, solusi dua negara sudah mati dan terkubur.
"'Solusi' apa pun yang mungkin ditemukan di masa depan akan muncul bukan dari proses perdamaian yang tertib tetapi dari kekacauan, yang sifat tepatnya tidak mungkin diprediksi," tulisnya.
Bahkan menurutnya, kekacauan itu bisa merupakan kekerasan atau konflik langsung.
"Bisa jadi aneksasi sepihak. Ini bisa jadi kekerasan tiba-tiba Israel dari bagian Tepi Barat. Atau bisa juga konflik langsung," katanya.
"Ini adalah hukum besi dari konsekuensi yang tidak diinginkan di tempat kerja," pungkasnya.
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari.Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari