Penulis
Intisari-Online.com - Covid hari ini semakin membuat para lansia terkucil.
Mereka diminta mengunci diri dalam rumah berhubung rentan terjangkit Covid-19, dilarang masuk mal.
Tak dibolehkan naik kereta di Jakarta, tak bisa antar-cucu ke sekolah di zona hijau. Paling sedih adalah dibatasi beribadah di sejumlah Gereja.
Padahal, di usia senjanya, mereka ingin lebih dekat pada hal-hal yang berbau kerohanian.
Namun Grace Sally tak mau mengutuk kegelapan. Ia memilih menyalakan sebuah lilin.
Lansia 63 tahun ini jadi pembuat masker. Masker ia jual. Namun ada yang ia beri cuma cuma.
Kepada kerabat, tetangga dekat atau orang miskin.
"Di masa pandemi ini, saya justru terdorong untuk bangkit, membuat sesuatu yang berharga untuk kehidupan," kata dia.
Sally hidup sebatang kara. Suaminya sudah meninggal.
Anak anaknya kerja di tempat yang jauh.
Di waktu tertentu mengunjunginya.
"Saya di Minahasa Utara mereka di kabupaten lain. Tapi kami masih berkomunikasi aktif, kami saling menyayangi," kata dia.
Selama ini ia menghidupi diri dengan uang pensiun suami.
Sebelum Covid-19, ia punya usaha warnet.
Namun warnet itu tutup seiring dengan merebaknya kasus Covid-19 di Minut.
Anak-anaknya melarangnya untuk bekerja keras.
Pagi berjemur saja. Siangnya minum vitamin C, toh hidupnya sudah tercukupi.
Tapi ketua anak ranting PDI Perjuangan Desa Kalawat, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minut ini kukuhberbuat sesuatu yang bisa menambah ekonomi keluarga dan membantu sesama.
"Saya terpikir buat masker saja, saya toh punya kemampuan menjahit," ujar dia.
Masker pun ia buat, taktik penjualannya memang old style.
Perlahan tapi pasti.
"Awalnya saya pakai, lalu ada tetangga dekat yang lihat, mereka beli, kemudian tetangga jauh, kemudian wargadesa dan demikian seterusnya menyebar, yang mau beli datang sendiri ke rumah, saya tak punya tenaga lagi jika harus pesan antar," kata dia.
Sejumlah masker terjual, namun ada pula yang ia beri cuma cuma untuk tetangga yang miskin.
"Saya dapat tiga bahagia. Pertama dapat kerjaan membunuh waktu luang, kedua dapat uang dari penjualan dan ketiga kepuasan moral dari membantu orang susah, saya rasa ini bisa menguatkan saya di masa covid-19 ini," ujar dia.
Hingga kini sudah ratusan masker ia buat.
Dalam sehari ia bisa buat puluhan masker Masker Sally khas.
Buatannya rapi, gayanya tak neko-neko, konvensional tapi efektif.
Beberapa di antaranya berbahan kain brokat. "Saya jual sepuluh ribuan," kata dia.
Dari mana kain didapatkan? "Ini sisa kain saya, sebagai penjahit, ada banyak sekali, ada pula dari pakaian bekas yang lama, tentu saya cuci bersih dan pakai bahan khusus," kata dia.
Banyak yang menyarankan agar maskernya dijual lewat medsos. Agar lebih laku, untuk ia ia butuh waktu.
"Saya sudah gaptek, tak terlalu lincah bermedsos, lagi pula ini kan usaha berbasis amal," kata dia.
Sally tak puas dengan masker, Ia tengah berinovasi membuat kentang goreng.
Akan dijalankan dengan bisnis pelayanan pula. Agar ia dapat tiga bahagia itu.
"Saya ingin menunjukkan, bahwa lansia bukan kamu tak berguna di masa Covid-19, lansia dapat memberi sesuatu di masa covid-19," kata dia.
Yang dilakukan Sally bisa mendorong kaum yang lebih muda lagi untuk berjuang di masa Covid-19.
Malu kalau kalah sama kaum yang lebih tua.
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Lansia Ini Jahit Ratusan Masker, Topang Ekonomi Keluarga dan Bantu Sesama